Jalan terbentang gapai mimpi

Table of Contents

Layar monitor laptop menyala tanpa disentuh untuk diperintahkan, sementara Risma diam duduk, menatap tanpa berkedip. Sesekali dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, atau menepuk kepalanya seolah ingin mencairkan darah yang membeku di dalam otaknya. Desahan nafas terdengar tertahan sejenak, lalu dia hembuskan dalam sentakan penuh beban.

 

“Uhsp.... gimana lagi ya,” gumamnya sendiri sambil jemarinya mulai diletakkan di atas papan keyboard, namun tak satupun tombol ditekan.

 

“Hai non, lagi ngapain?” suara lantang terdengar mendekat disertai langkah kaki.

 

Risma menoleh sejenak lantas kembali menatap laptopnya.

 

“Lo belum nyerah juga, Ma?” kata Mala sambil menarik kursi dan duduk di samping Risma. Risma tak menoleh, dia menjawab dengan senyuman.

 

“Sudah deh, lo buat usaha restoran aja, enggak jodoh kali lo menulis novel,” lanjut Mala sambil meraih sepotong pisang goreng yang tergeletak di atas sebuah piring di hadapannya. Risma menarik nafas panjang menghempaskannya sambil menjatuhkan pundaknya ke sandaran kursi.

 

“Gw ditolak lagi, Ma,” ucapnya lirih menutup mata.

 

“Mereka pasang harga buat mengedit tulisan gw, gw enggak punya uang,” tambahnya menoleh ke sahabat kecilnya. Mala tak merespon, dia tetap asyik mengunyah gorengan di tangannya.

 

“Sudah tiga penerbit gw ajukan novel ini, buntutnya mereka minta bayaran untuk mengedit tulisan gw,” Risma menepuk-nepuk jidatnya pelan.

 

“Emang susah ya jadi orang bodoh,” sambungnya.

 

“Lo bukan manusia bodoh, Ma. Cuma belum aja jodoh lo ketemu,” kata Mala menatap temannya penuh arti.

 

“Gimana kalau lo terima tawaran Mba Yuni untuk kongsi buat restoran, kan lo jago masak,” lanjut Mala berdiri, melangkah mendekati dispenser untuk mengambil minum.

 

“Siapa tahu jodoh rejeki lo ada di sana,” ucap Mala sambil menekan tombol di dispenser.

 

“Kan lo bilang menulis itu tempat terapi buat lo bukan buat cari duit, jadi ya udah enggak usah berharap dari tulisan lo,” Mala melangkah lagi mendekati tempat duduknya. Risma tak menjawab, dia hanya menutup mata tersenyum getir.

 

“Yes!” ucap Risma riang sambil mengacungkan tinjunya tanda dia bersemangat.

 

“Alhamdulillah,” tambahnya mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangannya. Lantas dia menghidupkan laptopnya, jemarinya lincah menari di papan keyboard penuh gairah menerabas impianya.

 

“Mba, sudah saya kirim naskah saya,” pesan itu Risma kirim pada Mba Febri, teman yang baru dia kenal di media sosial.

 

“Siap, Mba Risma. Nanti kami bantu Mba untuk mengedit naskah Mba,” jawaban itu yang Risma terima saat dia melakukan komunikasi via WhatsApp dengan Mba Febri.

 

Risma tak gentar menerima penolakan dari pihak-pihak yang dia coba ajukan naskah novelnya, dia terus ingin mimpinya memiliki buku novel dari hasil karyanya. Dari media sosial, Risma mencoba membuka diri, mencari teman literasi hingga dia berkenalan dengan Febriana yang memiliki usaha penerbitan dan memberikan kesempatan pada Risma untuk menerbitkan buku novel perdananya dengan budget sesuai kemampuannya.

 

Gadis tuna netra ini memang sering menghabiskan waktunya untuk menulis. Berjuta tulisan telah dia lahirkan namun hanya terbuang di keranjang sampah laptopnya. Hingga suatu hari, dia mendapatkan suntikan semangat dari teman di yayasan netranya untuk membuat sebuah novel karena sayang bila kemampuan Risma hanya terbuang percuma. Jadilah sebuah novel yang menceritakan kisah hidupnya.

 

Bermodal laptop, Risma dengan giat menuangkan segala keluh kesahnya dalam goresan, hingga jadilah sebuah buku yang dia beri judul "Rajutan Awan".

 

Produksi "Rajutan Awan" selesai, Risma bangga ketika dia berhasil memegang sendiri buku hasil tulisannya. Terlebih lagi, ketika buku itu telah dibacakan oleh pembaca buku di yayasan netra dimana Risma bergabung, kebahagiaan Risma kian memuncak saat distribusi penjualan buku itu telah habis 75 buku. Di sinilah Risma melemparkan keraguannya dan mengganti pemahaman kepada semua orang yang telah menganggapnya tak mampu berbuat apapun dalam keterbatasan yang dia miliki.

 

Gairah Risma untuk menulis kian menggelembung, namun takdir tak dapat ditampik. Sebulan setelah "Rajutan Awan" lahir, Risma kehilangan mama tercinta yang selalu memberikan kekuatan padanya, terpuruk kembali pada kenyataan. Bagaimana tidak, Risma kini hanya sendiri karena ayah telah lebih dahulu pergi menghadap Tuhan akibat kecelakaan kerja. Risma tinggal bersama Tante Asih, adik bungsu mama, karena hanya Tante Asih yang mau menerima Risma dengan kebutaan matanya, sedangkan keluarga lain hanya menganggap Risma sebagai beban keluarga.

 

Sepulang dari masjid, Risma mengambil ponselnya, dan didengar ada panggilan tak terjawab. Tanpa berpikir panjang, Risma menelpon balik nomor tersebut, namun sampai nada panggil berakhir, nomor itu tak menjawab kembali. Risma memainkan ponselnya.

 

“Ma, Tante besok mau ke Bandung, jadi kamu di rumah sendiri ya,” kata Tante Asih yang berjalan mendekatinya. Risma menoleh, “Iya, Tante,” jawaban singkat dia ucap sambil terus berselancar di media sosialnya. Selagi dia tenggelam dalam dunia maya, dering ponselnya bergetar, lantas diangkatlah nomor yang tadi dia hubungi.

 

“Maaf, ini dengan siapa?” tanya suara seorang laki-laki di ujung suara. Risma tertawa kecil, menjawab, “Lah, kamu siapa? Kan tadi kamu duluan yang telpon saya.”

 

“Oh gitu ya, saya Taufik,” jawab laki-laki itu, yang ternyata bernama Taufik. Dari hasil obrolan mereka, ternyata Taufik adalah teman sekantor dengan Mala. Ketika mereka sedang makan bersama, Mala meminjam ponsel Taufik dan menelpon beberapa teman Mala, termasuk Risma.

 

Perkenalan di telepon ini membuka jalan hubungan serius antara Risma dan Taufik, namun tanpa diketahui Mala. Risma jujur menceritakan keadaan dirinya pada Taufik, dan dia juga berterus terang tidak ingin berpacaran. Bila Taufik serius dengan dirinya, maka Risma meminta keseriusan Taufik untuk menikahinya. Risma mengambil sikap ini karena dia trauma untuk berpacaran yang ujung-ujungnya hanya kekecewaan dan sakit hati yang dirasa.

 

Kedua keluarga menentang hubungan mereka, terlebih lagi Tante Asih yang menganggap Taufik tak sepadan dengan Risma yang memiliki tingkat pendidikan strata satu, sedangkan Taufik hanya tamatan sekolah menengah. Ditambah pekerjaan Taufik hanya sebagai cleaning service di kantor yang sama dengan Mala. Taufik merupakan anak yatim piatu sama seperti Risma, namun Taufik masih memiliki empat kakak karena dia anak bungsu, sedangkan Risma hanya anak tunggal. Keempat kakak Taufik meminta Taufik memikirkan kembali bila ingin menikahi Risma yang notabene adalah tuna netra.

 

Perang dingin Risma alami dengan Mala yang tak suka Risma menjalin hubungan dengan Taufik. Dia tidak mau dibilang sebagai jembatan antara Risma dan Taufik. Masalah telepon, dia hanya iseng belaka. Mala bersikap seperti ini karena ditegur Tante Asih yang mengecapnya sebagai comblang, bahkan yang menyakitkan Mala adalah pernyataan Tante Asih bahwa Mala kok tega menjodohkan Risma dengan laki-laki seperti Taufik yang bila berbicara pun tak jelas. Jadilah pecah perang dingin, Mala menjauhi Risma, menutup dan memutuskan persahabatan mereka.

 

Taufik yang juga ingin menikah, berusaha membuktikan bila dia bertanggung jawab, hingga dia memberanikan diri melamar Risma. Tiga bulan kemudian, akad nikah dilanjutkan resepsi sederhana menjadi awal hidup baru antara Risma dan Taufik.

 

Permasalahan ekonomi menjadi pemicu keluarga baru ini. Lima bulan setelah menikah, Taufik terkena pemutusan hubungan kerja alias PHK. Taufik tidak patah arang, berbekal Honda Fario, dia menjadi ojek online, sedangkan Risma masih menjejaki kaki di dunia literasi. Taufik selalu memberikan dukungan psikis pada istrinya.

 

Sayap literasi Risma kian melebar dengan dia mengikuti kelas menulis. Bahkan dari salah satu penyelenggara, dia berkenalan dengan Mba Dian yang memiliki penerbitan buku serta sering mengadakan kelas menulis bersama. Dari Mba Dianlah Risma unjuk gigi, dia berani tampil untuk lebih kreatif lagi, melahirkan cerita-cerita dari buah pemikirannya.

 

Mba Dian mengandengkan Risma dengan Lion, seorang editing yang tegas, penuh wibawa, namun sangat memahami kekurangan Risma yang tidak mampu dalam hal mekanisme tulisan. Dari tangan besi Lion, cerita yang Risma buat jauh lebih bernyawa. Dukungan demi dukungan Risma rasakan, terlebih lagi Mba Dian dan Lion meminta Risma untuk membuat novel baru, ditambah kekuatan semangat dari Taufik, Risma mulai merangkai buah pemikirannya menjadi sebuah buku novel kedua yang dia lahirkan. Bimbingan Mba Dian dan Lion sangat memacu adrenalin Risma, hingga hanya dalam waktu dua bulan, dia berhasil melahirkan karya untuk kedua kalinya. Yang lebih membanggakan, hasil penjualan buku kedua Risma melejit jauh dari apa yang dibayangkan. Bagaimana tidak, novel fantasi ini menembus angka penjualan hingga 10.1000 eksemplar buku. Bahkan sebuah rumah produksi membeli naskah novel Risma untuk dijadikan film layar lebar.

 

Tahap demi tahap berhasil Risma jejak, hingga kemapanan ekonomi kini dia rasakan bersama suaminya yang selalu setia mendampingi. Taufik berusaha menjadi mata untuk Risma, karena ke mana pun istrinya pergi, dengan setia dia mendampinginya. Terlihat memang tak sepadan dari postur tubuh, Risma lebih tinggi dari Taufik, dan cara pemahaman pun Risma sering memberikan penjelasan pada suaminya.

 

Suami istri ini terlihat sangat bahagia, mereka selalu berdampingan, di mana pun keberadaan mereka, seakan mereka ingin menunjukkan pada dunia bila mereka bahagia. Terlebih lagi, keceriaan Risma tampak alami, lebih mempercantik parasnya. Inilah cinta yang sesungguhnya Risma inginkan, karena hal hebat baru dia rasakan bisa dicintai Taufik seperti apa yang dia inginkan.

 

Risma tak akan sia-siakan kesempatan yang diberikan padanya, karena dia sadar bahwa kesempatan tak datang untuk kedua kalinya. Hingga dia selalu berusaha menghargai keberadaan suaminya. Kesempurnaan tak akan ada, namun dengan perjuangan dan terus tangguh bertahan, Risma yakin, Taufiklah cinta yang selama ini dia dambakan. Kehadiran Mba Dian dan Lion menyadarkan Risma bahwa jodoh itu bukan hanya suami, namun cinta yang sesungguhnya Risma dambakan, bisa dia rasakan dari hangatnya kebersamaan dengan sang pemilik sebuah penerbit serta seorang editing yang saling mendukung dalam balutan sejati cinta.

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

3 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Kamis, 01 Agustus 2024 pukul 14.24.00 WIB Delete
Maju terus berkarya Mbak Rina
Comment Author Avatar
Rina Indrawati
Kamis, 01 Agustus 2024 pukul 22.06.00 WIB Delete
terima kasih mbak yosi
Comment Author Avatar
Selasa, 22 April 2025 pukul 23.00.00 WIB Delete
Mantaaap 👍👍👍