Rumahku Syurgaku
“Aduh,
Mba, aku udah nggak tahu deh mesti gimana lagi sama Dewi,” keluh Tini pada
kakaknya di telepon.
“Emang
Dewi kenapa lagi, De?” tanya Karni, kakak Tini.
“Barusan
Bu Ega telpon aku, dia bilang kalau Dewi hari ini nggak masuk sekolah, kemana
si tuh anak,” jelas Tini menahan amarah dengan tangan yang menggenggam sambil
ditinju ke pahanya sendiri.
“Kamu
di mana sekarang?” Karni kembali bertanya.
“Masih
di kantor,” singkat Tini menjawab.
“Sudah
telpon Aryo?” Karni kembali bertanya.
“Belum.
Lagi mana dia tahu orang sekarang dia lagi ke Semarang,” Tini menjawab dalam
nada bicara ketus.
“Lagian
sejak kapan Aryo ngurusin anaknya. Di otaknya hanya ada kerjaan rapat,
presentasi, dan proyek aja,” Tini memuntahkan perasaannya dengan mata berkaca.
“Trus
kamu dah telpon Bi Wulan, siapa tahu Dewi ada di rumah,” kembali Karni
bertanya.
“Sudah,
nggak ada,” singkat Tini menjawab.
“Ya
udah, Mba, aku masih banyak tamu nih, nanti kalau Dewi ke sana kabarin ya,
Mba,” pinta Tini pada kakak satu-satunya. Pembicaraan kakak beradik di telepon
berakhir setelah Karni sedikit meyakinkan adiknya bahwa putri semata wayangnya
akan baik-baik saja.
“Wi,
ini Bude buatin roti bakar isi nanas dengan toping keju parut dan susu,” Karni
datang membawa nampan yang berisi sepiring roti bakar serta segelas es teh
manis, Dewi menoleh tersenyum. “Terima kasih, Bude.”
Karni
duduk di samping Dewi yang kembali membaca novelnya.
“Kenapa
kamu hari ini nggak sekolah?” tanya Karni menatap lurus keponakannya.
Dewi
menutup buku, meletakkan di atas meja, diangkat wajahnya membalas tatapan Bude
Karni, Dewi tersenyum menggeleng, tangannya meraih piring yang berisi roti bakar.
“Ehm,
enak banget nih, Bude, rotinya,” Dewi berkata sambil mengunyah, Bude-nya
menggeleng menarik nafas.
“Marah
boleh, tapi jangan korbankan sekolah, Sayang,” Karni berkata arif penuh kasih
sayang, Dewi tetap mengunyah menghabiskan roti bakar dan meminum es teh
manisnya.
“Wi,
kamu masih mau kan denger nasehat Bude?” tanya Karni menatap lekat penuh harap.
Dewi mengelap mulutnya dengan telapak tangannya mengangguk.
“Bude
tahu kamu kecewa sama Mama dan Papa mu yang hanya sibuk cari uang,” tutur Karni.
“Bukan
cuma itu aja, Bude, Dewi pusing denger Mama dan Papa berantem terus,” keluh
Dewi menyandarkan punggunya ke sandaran kursi.
Curahan
hati Dewi mulai dia keluarkan dengan emosi serta air mata kekesalan, Karni
bangkit menggeser kursi dan duduk tepat di hadapan keponakannya. Wanita paruh
baya ini meraih tangan keponakannya membawa dalam genggaman, namun Dewi justru
langsung menjatuhkan dirinya ke pelukan sang Bude, tangisnya pecah seakan bom
waktu di hatinya sedang meledak. Sebelah tangan lembut Bude Karni membelai
rambut Dewi sementara satu tangan lagi memeluk dan menepuk badan Dewi.
“Kamu
harus kuat, Sayang,” ucap Bude Karni lembut.
“Bulan
depan kan usiamu sudah 16 tahun, itu berarti kamu sudah jauh harus lebih
dewasa,” jelas Bude Karni penuh kasih sayang.
“Apapun
keadaan Mama Papa, tetap mereka akan selalu menyayangi kamu,” tambah Bude
Karni, dia memberi pengertian, nasehat, dan semangat untuk keponakan
satu-satunya. Dewi menyeka air matanya, meredakan tangisnya, berusaha
menenangkan emosi. Dia menarik nafas, mengelengkan kepala, menadahkan wajah ke
langit biru, dan mendesah, “iya, Bude.” Bude Karni tersenyum, “Alhamdulillah...
ingat terus nasehat Bude ya, Sayang.” Bude Karni berdiri, menepuk bahu Dewi,
dan mencium gadis remaja ini.
Problematika
keluarga Tini dan Aryo adalah karir. Pasangan ini sibuk dalam pekerjaan hingga
tidak ada kebersamaan untuk putri tunggal mereka yang beranjak remaja. Kerap
kali silih paham terjadi hingga keributan menjadi santapan saat keduanya
bertemu.
Dewi,
putri tunggal mereka, adalah gadis pendiam yang cerdas. Terbukti nilai akademis
di sekolah selalu menjadi peringkat di setiap pembagian rapor. Dewi mengalihkan
kekecewaan pada orang tuanya dengan membaca dan menulis. Pendiam dan sedikit
tertutup membuat dia jarang bergaul di luar dengan teman-temannya. Bagi Dewi,
pagi pergi ke sekolah, setelahnya lanjut ke bimbel, dan malam harinya novel
adalah teman sejatinya, selain pena dan kertas. Dewi lebih sering menyendiri,
atau yang lebih membuatnya nyaman adalah pergi ke rumah Bude Karni. Kelembutan
Bude Karni serta kasih sayang Pakde Diman membuat Dewi betah berlama-lama di
rumah ini. Yuni dan Yudi, anak Bude Karni, menambah daftar kebahagiaan Dewi di
keluarga ini. Bagaimana tidak, aktivitas sholat berjama’ah menjadi tradisi
keluarga ini, makan malam bersama disertai canda gurau hangat menyinari
kelengkapan bahagia yang selalu didambakan Dewi. Dewi sering menginap di rumah
Bude Karni tanpa pamit pada orang tuanya. Bagaimana mau pamit, Papa nya pulang
sudah hampir larut malam, bahkan tak jarang sampai rumah dini hari dan baru
bangun tidur setelah Dewi berangkat sekolah. Mama nya juga sama, pagi hanya
sempat sarapan bareng Dewi, tapi lebih sering terburu-buru karena ada kerjaan.
Di malam hari baru pulang sekitar jam sembilan atau sepuluh, di mana Dewi sudah
terlena dalam mimpi. Waktu liburan, Dewi selalu ada alasan pekerjaan hingga
nyaris Dewi tak pernah merasakan kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Sungguh
tak pernah Dewi merasakan kasih sayang seutuhnya dari Papa Mama nya. Orang tua
Dewi berpikir anak semata wayang ini tumbuh dengan membanggakan. Prestasi Dewi
membuktikan bahwa semua fasilitas kemewahan membuat Dewi bahagia, sehingga
putri nya bisa belajar dengan baik dan nilai rapor yang selalu menjadi juara kelas.
“De,
kalian bertiga harus pergi berlibur, mumpung bulan depan Dewi kan libur
semester, dan Dewi ulang tahun, yah, itung-itung kalian beri hadiah ulang tahun
untuknya,” Karni mengajukan ide saat Tini datang ke rumah dan mereka sedang
ngobrol di teras belakang.
“Aku
mau nya gitu sih, Mba,” Tini menarik nafas dan menghempaskannya.
“Bulan
depan ada turis dari Belanda, dan hotel benar-benar lagi ramai. Aku tak mungkin
bisa meninggalkan pekerjaan ku,” nada tegas kecewa terdengar dari jawaban Tini.
“Lah,
kan kamu bisa menyerahkan tugas pada staf kerja mu,” Karni menatap adiknya
protes. “Lagian kan ngga lama liburanya, lima hari cukup,” tambah Karni
meyakinkan. Lagi-lagi Tini hanya menggeleng.
“Aku
berusaha atur jadwal, tapi gimana Aryo? Pasti dia menolak,” senyum kecut
melengkapai jawaban Tini.
“Mba,
inget ngga waktu keluarga ku merencanakan liburan ke Batam,” bola mata Tini
menerawang. “Udah diatur sedemikian, eh ternyata pas waktu nya Aryo nggak bisa
dan Mba Karni yang ngegantikan,” Tini mengelekan kepala, menyandarkan
punggungnya pada sandaran kursi.
“Dicoba
dulu aja, De,” Karni menepuk bahu adiknya, menyalurkan semangat. Dalam tatapan
keraguan, senyum kecut Tini mengangguk.
Jeda
beberapa menit, Aryo datang menghampiri mereka, Tini tak percaya melihat
suaminya datang.
“Mba
yang minta Aryo datang,” Karni menjelaskan, tersenyum melihat Aryo melangkah
mendekat.
“Duduk
di sini, Yo,” tambah Karni memberi satu kursi di sebelah Tini, Aryo duduk
setelah menyalami Karni dan menegur Tini.
“Mba
ngga ingin ikut campur urusan keluarga kalian, tapi demi Dewi Mba meminta pada
kalian,” lembut Karni memberi penjelasan pada Tini dan Aryo permasalahan Dewi.
Tini dan Aryo mendengarkan, Aryo diam menelan kesalahannya, ditatapnya langit
hitam bertabur bintang dan bulan yang hanya bersinar separuh. Tini tak kuasa
menahan air matanya, berulang kali dia menyeka mata dengan tisu yang diambil
dari atas meja dihadapannya.
Karni
meminta waktu mereka untuk Dewi, jangan penyesalan yang akan dirasakan. Aryo
mendekati istrinya meminta maaf, dan suami istri ini saling berpelukan.
“Beneran
Ma, Pa kita mau berlibur?” Dewi bertanya, menatap bergantian kedua orang
tuanya.
“Iya
dong, Sayang, kan ini hadiah untuk nilai rapor kamu yang juara pertama ditambah
hadiah ulang tahunmu,” Tini tersenyum manis, tangannya celetukan menyendok nasi
dan menaruh di piring Aryo suaminya. Sejak Tini memanggil Tini dan Aryo untuk
mendiskusikan permasalahan Dewi, pasangan suami istri yang telah menikah hampir
19 tahun ini menyadari kesalahan masing-masing. Hingga mereka berusaha merubah
jadwal kerja dan perlahan mereka menyempatkan waktu memberikan kebersamaan
untuk Dewi. Awalnya Dewi merasa aneh, namun Dewi bahagia dapat merasakan
kehangatan keluarga yang selama ini dia impikan.
“Wi,
mafin Papa ya...” Aryo menatap lembut putrinya, tangannya menerima piring yang
telah terisi nasi serta lauk yang diberi Tini. “Papa janji akan meluangkan
waktu untuk keluarga dan kesepakatan Mama Papa di minggu kedua setiap bulan
kita pergi keluar bersama,” Aryo menyup makanannya, masih terus menatap Dewi
seakan tatapan itu juga mengatakan Papa janji akan selalu ada untuk kamu,
Sayang.
“Gimana
liburannya, Sayang?” Karni bertanya saat Dewi datang ke rumahnya memberikan
sekantung body bag, Dewi tersenyum riang. “Sangat menyenangkan, Bude, bahkan
jauh dari lebih sangat menyenangkan,” tawa riang Dewi lengkap dalam raut
keceriaan.
“Bude,
Dewi langsung pulang ya,” pamit Dewi meraih tangan budenya, mencium punggung
tangan wanita yang sangat Dewi hormati setelah Mama nya.
Karni
membiarkan Dewi melakukan apa yang dia mau, namun setelahnya Karni meraih
pundak Dewi dan membawanya ke dalam pelukan hangat, belaian tangan Karni seakan
mengalirkan kebahagian lebih dalam di hati Dewi.
“Alhamdulillah,”
ucap Karni membisik, dan sesaat kemudian wanita penyuka anggrek ini melepaskan
pelukannya, mencium Dewi. “Selamat ya, Sayang. Jadikan rumahmu adalah surgamu,”
Karni menepuk bahu Dewi, menatap penuh bahagia.
“Terima
kasih, Bude,” Dewi menjawab mengangguk dan membalikkan badan, melangkah
meninggalkan rumah Bude Karni. Sekarang Dewi lebih senang berada di rumahnya
sendiri karena Mama Papa selalu ada di rumah sebelum azan Magrib, bahkan kini
sholat Isya selalu mereka lakukan secara berjamaah dan makan malam beraroma
DISKUSI BAHAGIA SELALU LENGKAP DALAM GURAU CANDA KEBAHAGIAAN SEUTUHNYA.