Cincin bermata tiga bagian 8
Jam telah menunjukkan pukul 20.35. Mala sudah pamit pulang sepuluh
menit yang lalu, sementara Lia terdiam di sudut kanan kamar Sifa. Gadis berpipi
merah ini memfokuskan tatapannya pada Sifa yang terbaring di atas kasur,
tubuhnya terikat dan mulutnya tersumpal. Kini sumpalan mulut telah berganti
masker, mengucap kata-kata aneh yang sulit dimengerti.
"Sifa, kamu enggak cape apa?" gumam Lia dalam hati.
Selepas sholat Maghrib, Lia dan Mala bersama-sama tilawah hingga azan Isya,
lalu makan malam. Setelah makan, Mala minta izin pulang. Lia menggaruk
kepalanya, rasanya kesemutan di sebelah kanan belakang kepalanya. Sejenak
terdiam, Lia beranjak berdiri keluar dari dalam kamar. Di dalam, Pak Otong
berkomat-kamit, Arya dan Anto di sisi Sifa, sementara Pak Setiawan duduk
bersama Bu Ratmi tak jauh dari Lia. Bu Ratmi yang melihat Lia keluar segera
menyusul mengikuti Lia yang pindah duduk di ruang sebelah.
"Kepala Lia pusing, Ma," katanya ketika sudah duduk. Bu
Ratmi mengusap-ngusap kepala Lia dengan lembut. "Apa kita pulang aja ya,
Kak? Kasihan Alif dan Amara," ucap Bu Ratmi yang membawa kepala Lia ke
pangkuannya. "Trus, Sifa gimana, Ma? Kasihan dia," lirih Lia
bertanya. Bu Ratmi diam memejamkan mata. "Mama ngantuk?" tanya Pak
Setiawan yang baru saja sampai di dekat mereka dan duduk di kursi lain. Bu
Ratmi menggeleng. "Kakak kenapa?" tanya Pak Setiawan yang melihat
putri sulungnya tergeletak di paha mamanya. "Kepalanya pusing," Bu
Ratmi menjawab. "Papa bingung, Ma, gimana ya cara ngelepas cincin
itu?" kata Pak Setiawan dengan tatapan pengharapannya ke arah depan. Bu
Ratmi tetap diam, bingung dengan situasi. Lia pulas tertidur. Lia terjaga dari
tidurnya, matanya berkerjap-kerjap mengenali tempat di sekelilingnya.
"Astagfirullah, aku dimana ini," katanya sendiri.
Lia segera duduk di sofa tempat dia tidur sebelumnya, senyumnya
sedikit terkembang. "Ah, di rumah Tante Arya," ucapnya senang.
"Tapi ngapain aku tidur di sofa ini?" ucapnya masih belum sepenuhnya
sadar. "Ada apa sih sebenarnya?" Lia bertanya-tanya sendiri dalam
hati. "Eh, Kak Lia udah bangun," kata Bi Sri yang keluar dari kamar
Sifa. Lia tersenyum. "Kak Lia mau makan atau minum apa?" tanya Bi Sri
mendekati Lia. "Mama Papa mana, Bi?" Lia malah balik bertanya. Lia
langsung menutup teleponnya dan meletakkan di sampingnya. Baru saja gawai itu
mendarat di atas sofa, tiba-tiba benda persegi panjang itu bergetar. Ternyata
Kemala sedang menelepon, Lia segera mengangkat ponselnya dan menerima telepon
dari Mala. "Assalamu'alaikum," sapa Mala, dan Lia menjawab singkat.
"Iya." "Kalau gitu sekarang gw otw kesana," kata Mala. Lia
bertanya, "Ngapain lo ke sini?" Mala tertawa dan menjelaskan
ajakannya. "Ngajak lo shopping, hahahah!" tawanya membuat Lia
tersenyum. "Gw mau temenin lo, Li, sampai cincin itu bisa dilepas dari
jari Sifa. Kebetulan ini tanggal merah, jadi kita libur panjang buat
guru," jelas Mala. Lia hanya diam. "Ya sudah lo tungguin gw di sana
ya, Li," kata Mala lagi.
"Gimana, Ma? Tadi Lia ke sana, eh malah Sifa kumat lagi, dan
Pak Otong nyuruh Lia keluar," cerita Lia kepada Bu Ratmi yang baru saja
tiba. "Sebentar lagi Pak Udin sama Bude Lilis datang, mereka sedang dalam
perjalanan," jawab Bu Ratmi sambil membawa kotak makanan dan menyerahkan
roti bakar kesukaan Lia. "Ini kamu makan dulu," katanya lagi. Lia
menerima kotak itu dan mulai makan. "Mama mau kemana?" tanya Lia
ketika melihat Bu Ratmi hendak melangkah ke kamar Sifa. "Ke kamar Sifa,"
ucap Bu Ratmi sambil melangkah meninggalkan Lia.
Khusus Lia menunaikan ibadah sholat malamnya hingga selesai,
dilanjutkan dengan tilawah Qur'an. Setelah selesai, Lia masuk ke kamar Sifa.
Matanya tertuju ke atas ranjang yang terlihat Sifa pulas tertidur. Di sebelah
kirinya, ada Om Anto dan di sebelah kanannya, Tante Arya. Sementara Pak Otong
masih terkomat-kamit di dekatnya. Di sekitar Pak Otong, terdapat lima gelas
bekas kopi dan asbak penuh dengan potongan sisa lisongnya. Aroma bau dupa yang
menyengat masih terasa di kamar yang berukuran 3x4 meter. Jendela tetap terbuka
lebar, pendingin ruangan masih menyala. Bau tersebut benar-benar tidak disukai
oleh Lia.
Lia melangkah perlahan agar tidak membangunkan orang-orang di
dalam kamar. Sambil masuk, dia berkata dalam hati, "Assalamu'alaikum."
Matanya terus fokus pada Sifa. "Siapapun yang ada di tubuh Sifa, aku Lia
kakak sepupunya, meminta segera keluar dari tubuh Sifa. Kasihan dia hanya
menjadi korban," gumamnya dalam hati. Lia berhenti dan berdiri di sudut
pintu, menghindari aroma dupa yang menyengat. Dengan penuh keyakinan, Lia terus
membaca Ayat Kursi berulang kali. Ketika selesai membaca untuk ketujuh kalinya,
tiba-tiba Sifa berontak hebat, membuat Arya dan Anto kaget. Bahkan Pak Otong
tersentak berdiri.
Gerakan Sifa sungguh kuat hingga hampir membuat Arya jatuh dari
ranjang. Sifa terus memberontak dan berkata dengan tidak jelas. Bi Sri pun ikut
membantu menjaga kaki Sifa. "Suruh anak itu keluar," ucap Pak Otong
sambil melirik ke arah Lia. Semua mata memandang Lia, hingga tanpa perintah
kedua kalinya, Lia melangkah keluar. Lia duduk kembali di tempat di mana dia
tidur sebelumnya. Dia mendesah, menarik nafas, dan menepuk kepalanya.
"Sifa, kasihan kamu," gumamnya dalam hati.
Lia mengambil ponselnya dan menelpon mamanya, namun yang mengangkat
adalah Amara. "Mama lagi siap-siap mau ke rumah Tante Arya, Kak,"
kata Amara menjawab pertanyaan Lia tentang keberadaan Mama. Lia langsung
menutup teleponnya dan meletakkan di sampingnya. Baru saja gawai itu mendarat
di atas sofa, tiba-tiba benda persegi panjang itu bergetar. Ternyata Kemala
sedang menelepon, Lia segera mengangkat ponselnya dan menerima telepon dari
Mala. "Assalamu'alaikum," sapa Mala, dan Lia menjawab. "Lo masih
di rumah Tante Arya?" tanya Mala, dan Lia menjawab singkat.
"Iya." "Kalau gitu sekarang gw otw kesana," kata Mala,
membuat Lia bertanya, "Ngapain lo ke sini?" Mala tertawa dan
menjelaskan ajakannya. "Ngajak lo shopping, hahahah!" tawanya membuat
Lia tersenyum. "Gw mau temenin lo, Li, sampai cincin itu bisa dilepas dari
jari Sifa. Kebetulan ini tanggal merah, jadi kita libur panjang buat
guru," jelas Mala. Lia hanya diam. "Ya sudah lo tungguin gw di sana
ya Li," kata Mala lagi.
"Gimana, Ma? Tadi Lia ke sana, eh malah Sifa kumat lagi, dan
Pak Otong nyuruh Lia keluar," cerita Lia kepada Bu Ratmi yang baru saja
tiba. "Sebentar lagi Pak Udin sama Bude Lilis datang, mereka sedang dalam
perjalanan," jawab Bu Ratmi sambil membawa kotak makanan dan menyerahkan
roti bakar kesukaan Lia. "Ini kamu makan dulu," katanya lagi. Lia
menerima kotak itu dan mulai memakan roti buatan mamanya. "Mama mau
kemana?" tanya Lia yang melihat Bu Ratmi berdiri dan hendak melangkah.
"Ke kamar Sifa," ucap Bu Ratmi yang melangkah
meninggalkan Lia.