Cincin bermata tiga bagian 7
Deringan ponsel
membangunkan Lia yang tertidur di bus kota. Gadis berkerudung kuning ini segera
mengambil gawainya dari dalam tas. "Assalamu'alaikum," Lia bersalam
membuka pembicaraan jarak jauhnya. Terdengar suara Bu Ratmi di ujung sana
membalas salam putrinya. "Wa'alaikum salam, kamu sudah di mana, Kak?"
"Masih OTW pulang, Ma, emang kenapa?" jawab Lia dengan mengajukan
pertanyaan. "Langsung ke rumah Tante Arya ya, Kak," Bu Ratmi meminta
pada Lia, yang membuat Lia sedikit malas. "Ngapain, Ma, Lia masih ada
urusan nih nanti abis magrib?" tanyanya, berusaha untuk mengelak datang ke
rumah Tante Arya. "Kalau bisa ditunda dulu aja, Kak, ini darurat,"
jawab Bu Ratmi, membuat Lia tambah penasaran saja. "Ada apa sih, Ma, ini
nanggung, sedikit lagi sampai di rumah," ucap Lia. "Kamu turun saja
di situ trus langsung naik taksi, nanti ongkosnya Mama ganti, enggak pake
alasan ya, Kak, nanti di sini kamu akan tahu sendiri alasannya," perintah
Bu Ratmi yang langsung menutup pembicaraan. Lia memandang gawainya sejenak
lantas memasukkan ke dalam tas dan berdiri beranjak turun dari bus kota.
Dalam perjalanan menuju
rumah Tante Arya, Lia mengirim pesan ke Mala. "Sorry, La, entar malam gw
enggak bisa ke rumah Tika soalnya barusan Mama minta gw ke rumah Tante Arya
katanya penting," Lia membatalkan janjinya. Cling. Ponsel Lia berbunyi
tanda notifikasi bahwa ada pesan yang masuk. Sejenak Lia membaca isi pesan itu
dan langsung dia menelpon sahabat kecilnya. "Ngapain lo nyusul ke rumah
Tante Arya, La?" tanya Lia langsung ketika menelpon Kemala. "Firasat
gw akan ada kejadian super hebat nih, Li, di rumah Tante lo, makanya gw nyusul
deh ke sana," jawab Mala tertawa kecil, yang membuat Lia geregatan.
"Ah, lo kaya mbah dukun aja," timpal Lia singkat dan dijawab Mala
dengan tawa riangnya. "Kan tempat kerja gw enggak jauh dari rumah Tante
Arya, jadi cuuupss deh gw ke sana ya, Non," jawab Mala. "Trus ke
rumah Tika nya gimana?" tanya Lia. "Nyantai, nanti gw yang ngebatalin
dan kasih penjelasan sama Tika, pasti deh doi ngerti," kata Mala
memberikan solusi. Lia mendesah nafas. "Terserah lo aja deh," ucap
Lia dan mematikan ponselnya lalu memasukkan kembali ke dalam tas.
Lia keluar dari angkot
biru bermahkota di depan sebuah rumah berpagar putih dengan ketinggian satu
meter yang terbuka. Ada mobil papanya telah terparkir di depan jalan rumah
bernomor 11 di kawasan kompleks perumahan Griya Pesona. Lia melangkah masuk ke
dalam menuju ruang tamu, namun Bu Ratmi yang telah mengetahui kedatangan
putrinya segera menyambutnya. Lia mencium tangan mamanya sambil bersalam.
"Ada apa sih, Ma?" tanya Lia penasaran karena dia melihat ada
beberapa pasang alas kaki bertanda ada tamu lain yang berada di rumah ini.
Belum sempat Bu Ratmi menjawab, terdengar suara sepeda motor berhenti, terlihat
seorang gadis berkerudung coklat susu membuka helm. "Hai, La," seru
Lia melihat temannya yang datang, membuat Bu Ratmi sedikit bingung, jelas
terlihat dari raut wajahnya. "Lia tadi bilang mau ke sini, eh dia malah
minta ikut ke sini," ucap Lia memberikan penjelasan pada mamanya. Mala
memarkirkan Honda Varionya dan langsung mendekati Lia dan Bu Ratmi yang masih
berdiri menunggunya. "Assalamu'alaikum," salam Mala meraih tangan Bu
Ratmi lantas mencium punggung tangan wanita ini. Bu Ratmi menjawab salam Mala
dan membiarkan Mala mencium tangannya. Tanpa berkata apapun, Bu Ratmi mengajak
Lia dan Mala masuk ke dalam rumah.
Keadaan rumah tampak
sepi, seolah tak ada aktivitas dari penghuninya. Bu Ratmi langsung mengajak Lia
dan Mala naik ke lantai dua menuju kamar Sifa. Mata Lia terbelalak melihat Sifa
yang mengejat-ejat, memberontak dengan tubuh yang terikat dan tergeletak di
atas kasur. Sementara di sana, ada Pak Otong yang duduk bersila di samping
kanan ranjang Sifa dengan terus mulutnya berkomat-kamit tak jelas, sementara
ada sebuah dupa yang berada di hadapan Pak Otong. Bau menyengat membuat udara
di sekeliling terasa pengap, padahal jendela kamar telah dibuka lebar dan
ditambah pendingin ruangan yang tetap dinyalakan. Pak Setiawan juga ada di
sana, duduk bersila di pojok ruangan. Ketika Lia masuk, papanya segera berdiri,
melangkah mendekati. Pak Anto dan Arya berada di sisi kiri Sifa, yang bola
matanya melotot menatap ke kedua orang tuanya. Lia dan Mala menutup hidung
karena aroma yang tak disukai dari dupa yang terbakar.
"Sifa, kenapa,
Ma?" tanya Lia lirih pada Bu Ratmi yang menyaksikan saudara sepupunya
dalam kondisi seperti itu. Bu Ratmi tak menjawab, dia segera mengajak Lia dan
Mala keluar, dan mereka duduk di ruangan lainnya.
"Tadi Mama ditelpon
Tante Arya," kata Bu Ratmi membuka pembicaraan. Lia dan Mala menyimak
penasaran. "Sifa dari pulang sekolah langsung tidur, dan pas bangun dia
berteriak-teriak tak jelas sambil memukul-mukul dirinya sendiri dengan guling,"
ucap Bu Ratmi bercerita tentang keadaan Sifa yang tiba-tiba tak jelas, seperti
kerasukan mahluk gaib. "Tante Arya langsung menelpon Mama, dan pas Mama
sampai, sudah ada Pak Otong," lanjut Bu Ratmi menelan rasa, Lia yang
mendengar nama Pak Otong mengernyitkan dahi menutup mulut. "Makanya Mama
telpon kamu, siapa tahu kamu bisa bantu," ucap Bu Ratmi menatap putrinya
yang masih memasang muka masamnya. Lia menarik nafas sambil menjatuhkan
punggungnya pada sandaran sofa, gadis ini menggeleng menutup mata. Mala yang
berada di samping Lia memberikan dukungan dengan menepuk paha sahabatnya ini.
"Kamu sudah sholat Ashar, Kak?" tanya Pak Setiawan yang duduk di
hadapan Lia. Anggukan tanpa kata adalah jawaban Lia. "Yuk, Kak, tolongin
Sifa," pinta Bu Ratmi pada Lia yang masih terdiam. Lia tak menjawab.
"Ayo, Li, pasti kamu punya caranya," kata Mala, menemani sahabatnya.
Lia menggeleng. "Dicoba dulu, sayang," ucap Bu Ratmi menatap Lia
penuh kasih. "Lia mesti apa, Ma?" tanya Lia lirih balik menatap
mamanya. "Ambil air wudhu dan kamu dzikir seperti di rumah Pak Udin,"
Pak Setiawan yang menjawab membuat Lia memelototkan matanya pada papanya, Pak
Setiawan tertawa kecil. "Iya, Kak, seperti kamu lakukan waktu tolong
Mama," Pak Setiawan tersenyum menjawab. "Maaf, Tante dan Om, tapi apa
penyebab Sifa seperti itu?" tanya Mala yang ikut penasaran, diikuti
anggukan Lia. "Makanya, Mama minta tolong Kakak pake naluri batin kamu dan
lihatin kenapa Sifa," pinta Bu Ratmi berdiri mendekati Lia dan mengajaknya
berdiri. "Dicoba dulu, Kak, ini demi Sifa adik kamu juga kan," kata
Bu Ratmi yang telah berdiri di hadapan Lia, anggukan kepala Bu Ratmi meminta
Lia berdiri. Mala pun berdiri sambil menepuk pundak Lia, yang akhirnya membuat
lia ikut berdiri.
Lia menatap Sifa fokus
dengan tatapan yang menerka-nerka, namun tatapan Lia justru membuat gairah Sifa
memberontak. Gadis berusia 16 tahun ini memberontak sekuatnya hingga Pak Anto,
ayahnya, menahan gerakan itu sekuat tenaga dibantu Arya, mamanya. "Sifa
ini aku, Kak Lia," Lia berucap lembut sambil mendekati Sifa yang terus
memberontak. Pak Setiawan dan Bu Ratmi ikut menahan tubuh Sifa yang memberontak
sekuatnya, terlihat jelas dari kekuatan gerakan Sifa bahwa ini ada kekuatan
lain yang mengikutinya. "Sifa kuat amat sih," batin Lia saat ikut
menahan kaki sepupunya. Sementara Pak Otong terus saja berkomat-kamit sambil
sesekali memercikan serbuk yang beraroma wewangian bunga. Kehadiran Lia dan
Mala semakin menambah kekuatan baru Sifa hingga semua orang yang berusaha
menahannya tampak mulai kewalahan. Arya, mamanya, yang merangkul dari sisi
kiri, sesekali tampak terhempas ketika Sifa melawan dari pelukannya. Anto, sang
papa, juga yang telah berpindah merangkul dari sisi kanan, tampak mulai keteter
tenaga dari perlawanan Sifa yang terus memberontak. Bu Ratmi yang memeluk Sifa
dari depan juga tampak tak kuat menahan pembrontakan tubuh Sifa yang telah
terikat dengan tali. Pak Setiawan yang menahan gerakan Sifa dari bawah mencoba
menahan agar Sifa tetap berbaring. Lia dan Mala hanya diam, menyaksikan Sifa
yang terus memberontak dengan mulutnya yang juga sengaja disumpal.
"Ma, buka saja
sumpalan mulutnya," kata Lia meminta Bu Ratmi untuk membuka kain penyumpal
di mulut Sifa. Sontak Pak Otong menjawab, "Jangan," singkat dia hanya
mengutarakan kata itu saja dan melanjutkan merapalkan mantranya. Lia mengeleng,
mengomel kesal. "Masya Allah, tega amat sih nih bapak," batin Lia
yang ikut menahan kaki Sifa yang terus memberontak. "Kalau sumpalannya
dibuka, maka dia akan meludah terus. Bisa-bisa kita semua dibanjiri ludah anak
ini," kata Pak Otong menjelaskan seakan dia bisa membaca pikiran Lia. Lia
tersadar, dia membalas senyum getir.
Tiba-tiba Mala berseru,
"Li, lihat jari Sifa," kata Mala yang membuat semua pasang mata
menelusuri jemari Sifa. "Astaghfirullah, Al Azim," sontak Lia
terkejut saat dia melihat jari tengah kiri Sifa melingkar sebuah cincin bermata
tiga, sama persis dengan cincin yang kemarin telah berubah menjadi tulang.
"Ma, di jari tengah kiri Sifa ada cincin bermata tiga," Lia berkata
pada mamanya yang membuat semua orang terkesima tak percaya. Lia segera
mendekati tangan kiri Sifa dan memegang jemarinya, namun Sifa melotot
menggerakkan membontak. "Assalamu'alaikum," Lia patah-patah berkata,
dia gemetar saat melihat kembali cincin bermata tiga itu. "Sifa, ini Kak
Lia," ucapnya lagi, namun Sifa tetap terus memberontak. Pak Otong yang
juga terkejut dengan penemuan cincin yang melingkar di jari Sifa ikut mendekati
tubuh Sifa. Kini jarak Pak Otong dan Lia sangat dekat karena mereka saling
berhadapan. Keadaan ini membuat Lia tiba-tiba mual. Dia menutup mulutnya dan
membalikan badan, berusaha berlari ke arah kamar mandi. Namun di tengah
perjalanan menuju toilet yang masih terletak satu ruangan, Lia tak tahan, dia
muntah sejadinya hingga lantai di depannya berceceran muntah Lia. Mala sigap
menyadari gerakan Lia lantas setelah Lia memuntahkan seluruh isi perutnya, Mala
memapah Lia keluar dari ruangan kamar tidur Sifa. Mala memijit-mijit tengkuk
Lia yang telah meminum segelas air putih hangat yang diberi Bibi Sri, asisten rumah
tangga. "Dah enakan, Li?" tanya Mala, yang menatap paras pucat Lia.
Lia menutup mata mengangguk. "Gw enggak tahan sama baunya Pak Otong,
La," kata Lia lirih, menelan ludahnya. "Kalau lo dah enak, yuk
tolongin Sifa," kata Mala, meraih tasnya, membuka tas berwarna hitam, dan
mengeluarkan sebuah masker. "Nih, lo pake masker aja," Mala
menyodorkan penutup mulut dan hidung pada Lia, yang tampak mulai berangsur
baik. Lia menerima dan memasangkannya ke mukanya.
"Kok bisa ya cincin
itu ada lagi?" tanya Lia sambil meneguk air putih, lalu kembali berdiri
bersiap melangkah ke kamar Sifa, diikuti oleh Kemala, sahabatnya.
Penasaran lanjutannya, Mbak. Terus semangat ya.