Cincin bermata tiga bagian 6
Dua
gadis berkerudung asyik menikmati semangkok mie ayam di sebuah restoran dalam
mal di kawasan ibu kota. Ya, gadis itu adalah Natalia yang disapa Lia dan
Kemala, sahabat Lia sejak SLTP. Mereka asyik ngobrol, terutama tentang topik
cincin bermata tiga yang berubah menjadi tulang. Mala tak henti-hentinya
bertanya karena penasaran, "Trus gimana, Lia? Nyokap lo sehat kan
sekarang? Dan si dukun itu pergi kemana?" Mala menatap fokus penasaran ke
Lia, Lia tertawa senang, "Hahahaha." Tawa Lia justru membuat Mala
sebal, "Ih, Lia, ngapa lo malah ketawa?" Sedikit sewot, dia menimpali
tawa Lia. Masih tertawa kecil, Lia menjawab, "Abis lo lucu banget sih,
kaya Alif aja," ucap dia membandingkan Mala yang penasaran dengan adik
bungsunya bila sedang merajuk. Mala tersenyum kecut, "Sorry," singkat
Lia yang memberi senyum manisnya pada Mala. "Gw enggak tahu, Pak Otong
kemana, soalnya terakhir dia cuma minta kedua tulang itu dan langsung
menghilang," jelas Lia sambil mengaduk es teh manisnya. "Eh, emang
Pak Otong itu dukun apa?" tanya Lia menatap Mala. "Lah, dari
ciri-ciri yang lo ceritain itu mah gayanya dukun kali," Mala menegaskan.
"Apalagi bau badanya sama pas dia ngeludahin tuh cincin," Mala
berusaha berpendapat, tapi pendapat Mala justru membuat raut muka Lia berubah.
Dia mengerenyitkan dahi menutup mulutnya. "Sorry, Lia," singkat Mala
berkata dengan merasa bersalah karena dia telah mengingatkan Lia akan sebuah
aroma yang tak sedap dari tubuh Pak Otong serta gaya yang menjijikan ketika
melihat semburan liur keluar dari mulut Pak Otong di kejadian dua malam yang
lalu. "Udah ah, enggak usah ngebahas si Pak Otong itu," Lia menarik
nafas menghempasnya seakan dia ingin membuang cerita tentang Pak Otong dan
meneguk minumnya. "Tapi lo keren banget Lia, coba gw ada pas kejadian
itu..." ucap Mala tertahan. "Emang kalau lo ada, lo mau
ngapain?" tanya Lia menatap Mala. Mala tersenyum malu sambil seolah dia
berpikir, "Ngapain ya, Lia..." Lirikan matanya menelusuri tempat
sekitar mencari jawaban dan dibalas tawa kecil Lia.
Selesai
makan, mereka melanjutkan berkeliling mal karena dua sahabat ini memang sering
menghabiskan waktu liburan bersama. Lia yang bekerja sebagai guru taman
kanak-kanak, sedangkan Mala adalah seorang terapis di sebuah klinik tumbuh
kembang. Mereka sengaja pergi ke mal ini karena Mala dan Lia sama-sama ingin
menghadiri acara ulang tahun murid mereka yang kebetulan sama-sama mereka
pegang tuk belajar. "Kalau dipikir-pikir, ngapain ya tadi kita makan dulu,
kan entar juga dapat makan dari Adit," ucap Mala ketika mereka berjalan di
antara barisan toko yang berjajar di kanan kiri. Lia tertawa, "Hahah...
kan tadi lo bilang lapar dan acaranya Adit masih dua jam lagi," jawab Lia
memainkan pandangannya menikmati barang yang tersusun di etalase toko yang
dilewati. Mala mengangguk-angguk, "Kita beli kado yuk, Lia," ketika
melihat toko buku. "Dimana?" singkat Mala bertanya. "Tuh ada
toko buku kan di sana, juga banyak pernak-pernik, siapa tahu ada yang cocok tuk
Adit," jawab Lia dengan mengarahkan wajahnya ke arah sebuah toko buku tak
jauh dari mereka berada. "Juga cocok dengan kantung kita," ledek
Mala, dan kedua gadis ini tertawa.
"Lia,
itu bukannya Bule Ririn," kata Mala tertegun ketika tatapannya melihat
seorang wanita yang dia kenal. Lia menahan langkah dan memperhatikan keadaan di
sekitarnya. "Mana, La?" tanyanya penasaran. Mala tak menjawab, dia
menarik lengan Lia dan berjalan cepat ke arah seorang wanita berambut ikal
sebahu dengan berpakaian kasual. "Bule Ririn!" seru Mala berusaha
memanggil wanita yang berada di depan mereka dengan jarak 3 meter. Wanita itu
menoleh, bahkan sempat membalikkan badannya sejenak, namun ketika Lia yang dilihatnya,
dia malah berlalu meninggalkan Mala dan Lia yang tersentak. "Bener itu
Bule Ririn," ucap Lia tertahan, namun dia dengan cepat mengejar tantenya
itu yang lebih cepat menghilang di antara kerumunan pengunjung mal. Lia dan
Mala tak tinggal diam, mereka menerobos melangkah sigap di antara para orang
yang asyik berjalan-jalan, tapi buruan mereka seolah ditelan keramaian
pengunjung mal. Lia menghentikan langkahnya menarik nafas, "Masya Allah,
cepat amat ya Bule Ririn menghilang," ucapnya mengatur nafas, diikuti Mala
yang masih celingukan menoleh kesegala penjuru yang mampu dia pandang.
"Iya, kemana sih dia?" timpal Mala. "Yah, udah deh, emang
ketahuan banget dia sengaja ngilang," Lia berkata sambil mengambil
ponselnya dari dalam tas. "Lah, pasti dia takut sama lo, Lia. Lo mau
telpon siapa?" kata Mala menatap Lia yang memainkan gawai.
"Mama," singkat Lia menjawab.
Suasana
makan malam yang menyenangkan di keluarga Pak Setiawan, terlihat Alif asyik
menikmati makanannya yang terus dia santap dengan raut penuh selera, sedangkan
Amara sudah menambah lagi porsi nasinya. "Lapar, Ra?" jail Lia
menggoda adik perempuannya. Amara tak menjawab, dia hanya merespon dengan
sebuah anggukan sambil mulutnya terus mengunyah. "Lia yakin, tadi Bule
Ririn kaget pas nengok waktu dipanggil Mala," kata Lia sambil menyendok
makannya. Dia telah menceritakan pada kedua orang tuanya bahwa tadi dia melihat
Bule Ririn di mal, tapi tantenya itu malah menghilang. "Papa tadi juga
coba ke rumah Bule Ririn, tapi tetap saja rumah itu kosong, bahkan Papa sempat
ketemu Pak Latif satpam kompleks dan emang sudah hampir dua bulan rumah itu
kosong," Pak Setiawan menceritakan bahwa tadi siang dia pergi ke rumah
adiknya dan tetap tak ditemui siapapun, bahkan satpam penjaga kompleks
mengatakan rumah itu telah kosong. Tak hanya sampai di situ, Pak Setiawan juga
telah mencari Taufik di tempat bekerjanya, namun dari keterangan kepala HRD
menjelaskan bahwa Taufik telah izin mengundurkan diri sebulan kemarin.
"Mama juga kemarin ke rumah Sisil, teman akrabnya Ririn, tapi malah sudah
hampir setahun dia tidak berhubungan dengan Ririn," kata Mama menceritakan
ke rumah salah seorang teman Ririn yang Bu Ratmi kenal. "Bule Ririn ke
rumah Uti kali, Ma," ngasal Amara menimpali dijawab senyum ketus Lia.
"Ngapain dia ke sana, kan rumah Uti sudah dijual," Pak Setiawan yang
menjawab memberi kepastian pada putri keduanya. Amara tersenyum dan
mengangguk-angguk. "Ma, besok kita ziarah ke kuburan Uti sama Akung
yuk," ajak Lia. "Setuju," Alif yang menjawab bersorak. Pak
Setiawan hanya melirik istrinya dengan sudut matanya meminta persetujuan karena
kuburan kedua orang tua Pak Setiawan terletak di kota lain yang jaraknya cukup
menyita waktu seharian bila harus ditempuh pulang balik. "Boleh,"
singkat Bu Ratmi menjawab dan membuat ketiga buah hatinya bertepuk tangan.