Sepahit kenyataan yang dihadapi
Puisi
ini terlahir ketika aku merasakan derita
teman yang terkekang dalam di tengah
harmonisnya keluarga .
Aku
terkekang dalam sangkar emas yang tampak berkilau dari pandangan luar.
Kulit
sangkar ini terus memancarkan kekaguman hingga decakan salut selalu terdengar
mengiris kalbuku.
Ya,
kalian hanya terfokus pada lapisan yang membungkus senyumku yang getir.
Apakah
mata batinmu mampu menembus lara yang tersemat dari gundukan lara dalam duka
tak menentu.
Jiwa
yang rapuh kian kusam dalam pendaringan yang tak semestinya.
Jasad
ini masih bernyawa tapi mengapa seolah raga telah meninggalkannya dalam
kehampaan.
Hidup
seakan mati, mati namun organ tubuh masih bekerja sempurna.
Inikah
rasanya siksa kiamat yang datang belum pada waktunya, namun mengapa sakitnya
telah menusuk kenyataan.
Lebih
baik mati sesungguhnya daripada seonggok jasad ini meregang tak berujung.
Seindah
apakah cakrawala di luar sana, layakkah kerapuhan ini bisa merasakan lembutnya
pantulan surya.
Aku
ingin terbang mengelilingi buana yang selalu tersenyum dalam taburan gemintang
cemerlang.
Aku
ingin merasakan hangatnya rembulan yang memercikkan magis kehidupan dalam
sejati cinta.
Tuhan.......
Beri
kesempatan itu padaku sebelum Engkau menutup usia ini.
Tuhan......
Izinkan
aku merasakan dihargai akan kehadiranku meski hanya sesaat dan cuma sekelumit
orang saja yang menerima keberadaanku.
Tuhan......
Bantu
aku untuk kepakkan sayap agar dunia menerimaku dan membungkus kehadiranku
dengan kasih sejati-Mu.