Menikah dengan pilihan Hati
Ini
kisahku, tentang perjuangan untuk merasakan cinta sejati dalam kemerdekaan.
Namaku Kartika Safitri, panggil aku Tika.
Pernikahan
terjadi karena perjodohan Bapak dengan teman kecilnya. Aku menikah bukan karena
cinta, ditambah aku sama sekali belum mengenal suamiku, Ibnu, sebelumnya. Sejak
kelas tiga SMP, aku menjalin hubungan dengan Galih, teman sekelasku. Hubungan
kami berjalan lancar hingga suatu hari, teman Bapak menagih janji untuk
menikahkan aku dengan anaknya, Ibnu. Aku menolak dengan halus, kemudian tegas,
karena Galih adalah laki-laki yang ada di hatiku. Namun, Bapak tak bisa membela
aku karena hutang budi dengan orang tua Ibnu. Saat itu, Galih juga tak bisa
berbuat apa-apa karena dia belum bekerja. Aku terpaksa menerima pernikahan ini,
meski berat rasanya untuk meninggalkan Galih.
Kehidupan
baruku bersama Ibnu sangat menekanku. Suamiku ternyata seorang diktator dan
sangat arogan yang sangat mengekangku. Kebebasanku terbelenggu hanya untuk
mengurus dia saja. Tak hanya masalah kebebasan, suamiku juga suka bermain
tangan bila keinginannya tak aku penuhi. Dan yang membuat aku tak tahan lagi
untuk mengakhiri rumah tangga ini adalah karena nafsu seksualitas suamiku yang
tinggi sekali. Orang tua Ibnu sudah mengetahui perangai anaknya, namun mereka
tak bercerita dari awal pada Bapak. Ini juga yang membuat Bapak kecewa,
menyesal, dan membelaku untuk mengajukan gugatan cerai.
Hanya
lima bulan aku menjalani rumah tangga yang telah merenggut kemerdekaanku. Kini
aku mulai lagi lembaran baru hidupku sebagai seorang janda dengan trauma psikis
yang sulit aku lupakan. Aku bukan termasuk wanita yang mudah menyerah, karena
aku sadar hidup tetap berjalan. Aku mencoba menata sedikit demi sedikit
psikisku dengan mengerjakan kewajibanku sebagai seorang hamba. Dengan
mengerjakan sholat sunah seperti sholat duha, bangun di malam hari untuk
tahajut, serta membaca Al Qur’an, membuat hatiku tenang dan gairah hidup memacu
semangat untuk berpikir positif. Dari sedikit tabungan yang ku miliki, aku
mencoba membuka warung gado-gado. Berjalan waktu, warung gado-gado ku bertambah
besar hingga tak hanya gado-gado saja yang ku jual, tapi ada beberapa menu
lainnya di warungku yang kini aku bisa memperkerjakan tiga orang sebagai
karyawanku.
Suatu
hari, ada seorang laki-laki datang ke warungku, dan tak sengaja aku
menyengolnya. Seketika aku meminta maaf, namun ternyata dia adalah Galih.
Terkejut aku saat bertatapan mata dengannya, terlebih lagi ketika mendengar
suara Galih yang berkata, "Tika... kamu Kartika?" Katanya seolah tak percaya
jika aku ada di hadapannya. Aku membalasnya dengan senyuman serta berusaha
meyakinkan bahwa ini benar aku. "Iya, aku Tika," kataku sambil
menanyakan kabarnya dan mempersilahkan dia duduk, serta menawarkan makanan apa
yang dia inginkan.
Aku
sendiri yang membuat gado-gado untuk Galih. Setelah itu, aku menemani dia duduk
di hadapannya. Tak hentinya dia memandang diriku hingga membuat aku serba
salah. Terjadilah percakapan santai yang melambungkan hatiku karena Galih belum
menikah, dan kini dia telah bekerja sebagai security di sebuah bank swasta.
Galih belum dapat melupakan aku, untuk itu dia belum juga menambatkan hatinya
pada wanita lain. Jodoh memang tak kemana. Dari pertemuan pertama kali dengan
dirinya di warung gado-gadoku, mulailah terjalin hubungan aku dengan dirinya.
Hubungan yang terjalin karena cinta, cinta yang telah terbina dari kami remaja
hingga mengantarkan aku dan dia memutuskan untuk menikah.
Batu
sandungan masih ada menghalangi langkahku karena Ibnu masih membayangi hidupku.
Dia mencoba menggagalkan pernikahanku dengan Galih dari berbagai alasan yang
tak masuk akal. Hingga aku dan Galih memutuskan menunda sementara pernikahan
kami untuk menghindari Ibnu. Ibnu sempat mengancam Galih dengan kekerasan untuk
meninggalkan aku, karena baginya aku tetap masih istrinya, meski surat
perceraian sudah di tanganku. Sejak bercerai, Ibnu kehilangan akal sehatnya.
Dia sering memaksaku untuk pulang ke rumah bersama dirinya, padahal kami sudah
resmi bercerai. Perasaan tak nyaman selalu aku rasakan setiap kali Ibnu datang
ke warung gado-gadoku, namun Bapak selalu mendampingiku setiap hari di warung,
bahkan terkadang Om Aziz, adik Bapak yang bekerja sebagai marinir, di kala
waktu liburnya selalu datang ke warungku. Ibnu tak melakukan kekerasan, hanya
dia merayuku untuk pulang kembali padanya. Segala cara ku lakukan bersama
Bapak, Galih, serta Om Aziz untuk menyelesaikan permasalahan aku dan Ibnu,
hingga akhirnya dari kesepakatan bersama, aku pindah ke kota lain. Di sana aku
tinggal bersama Tante Ratih, adik Ibu. Aku mulai merintis kehidupan baruku di
kota kecil ini, dengan tetap dalam pantauan Bapak dan Galih. Di sini aku
kembali membuka warung gado-gado, dan Alhamdulillah, Allah mempermudah segala
urusanku, hingga hanya dalam waktu satu tahun, warung gado-gado yang aku rintis
berkembang seperti warung gado-gado pertamaku.
Bulan
ketiga, Bapak menyusul aku dan tinggal kembali bersamaku, dan ini menambah
kekuatanku untuk tetap berjuang. Galih pun memutuskan berhenti bekerja dan
menyusulku.
Tanpa
membuang kesempatan, aku dan Galih segera melangsungkan pernikahan kami yang
sempat tertunda. Kebahagiaan bertabur syukur tak terlukis. Kini aku dapat
mencapai kebahagiaan penuh cinta bersama orang terkasih dalam hatiku.
Aku
menikah untuk yang kedua kalinya, namun kali ini aku menikah karena cinta.
Rumah tangga yang aku bina bersama kekasih hati berdasarkan karena Allah, dan
kami bangun kehidupan baru kami dalam kemerdekaan untuk cinta. Galih tetap
mengijinkan aku membuka warung gado-gado, bahkan Galih ikut mengolah warung
gado-gado "Kartika", itu nama warung gado-gadoku, hingga kami bisa
membuka cabang baru.
Terima
kasih ya Allah untuk kekuatan yang Kau beri di kala aku sedang terpuruk, hingga
aku mampu melawatinya. Dan kini Kau beri kesempatan aku merasakan kebahagiaan,
kedamaian penuh cinta dengan keluargaku.
Inilah
kisahku dalam perjuangan cinta untuk mendapatkan kemerdekaan dan dapat
merasakan cinta sejati dalam kebahagiaan.
Posting Komentar