Cincin bermata tiga bagian 2
Afanza
biru bermahkota memasuki lobi ruang UGD rumah sakit Prima. Pak Setiawan
buru-buru membawa istrinya, Bu Ratmi, ke rumah sakit karena cincin bermata tiga
terlepas dari jari Bu Ratmi. Kondisi ibu tiga anak ini kian melemah. Bu Ratmi
pingsan selama 10 menit, dan ketika sadar, dia lunglai tak berdaya dengan napas
yang sangat tipis. Rasa khawatir mendorong Pak Setiawan untuk membawa istrinya
ke rumah sakit. Lia, Pak Udin, dan Bude Lilis juga ikut menemani.
Pak
Udin, yang sudah sampai terlebih dahulu karena menggunakan motor, langsung
membuka pintu mobil dan membantu Pak Setiawan memapah Bu Ratmi menuju kursi
roda. Lia dan Bude Lilis mengikuti dari belakang.
“Hasil
laboratorium bagus ya, Pak, tidak ada masalah sedikitpun. Namun, memang tekanan
darah ibu rendah dan saturasi oksigen ibu juga tidak stabil,” kata seorang
dokter jaga di ruang UGD menjelaskan keadaan medis Bu Ratmi.
“Apakah
istri saya bisa rawat inap untuk memulihkan kembali kondisinya, Dokter?” tanya
Pak Setiawan, berdiri berhadapan dengan dokter, sementara Lia duduk di sisi
kiri mamanya, mengusap-usap lengan Bu Ratmi.
“Justru
itu saran saya, agar kita bisa mengobservasi kondisi ibu,” jawab dokter itu,
dan Pak Setiawan menyetujuinya.
“Papa
pulang saja, biar Mama Lia yang jaga,” kata Lia setelah mereka berada di ruang
inap RS Prima kamar VIP 302. Pak Setiawan, yang tampak letih, duduk bersandar
tidak jauh dari ranjang istrinya.
“Kasihan
Alif dan Amara di rumah,” tambah Lia yang duduk bersebelahan dengan ayahnya.
Tatapan Pak Setiawan mengarah ke Bu Ratmi yang terbaring dengan infus serta
oksigen. Wanita ini berbaring menutup mata, namun dia tidak tidur. Deruan
napasnya mulai teratur.
“Betul
kata Lia, Mas, lebih baik Mas Setiawan di rumah saja temani Alif dan Amara.
Lagipula besok kan Mas juga mesti antar mereka sekolah,” Bude Lilis
mengomentari situasi.
“Biar
saya sama Lia saja yang jagain Bu Ratmi. Lagian kan ada Pak Udin juga,” sambung
Bude Lilis, menoleh ke suaminya yang duduk bersila di sudut ruangan, meminta
persetujuan suaminya.
Pak
Setiawan menarik napas panjang, menghirupnya dalam, dan menghembuskan dengan
menggelengkan kepala.
“Yaudah,
Papa pulang ya, Kak,” ucap Pak Setiawan, berdiri dan melangkah mendekati Bu
Ratmi. “Ma, Papa pulang ya. Besok abis anter anak-anak Papa kemari lagi,” pamit
Pak Setiawan pada istrinya yang tetap diam. Laki-laki paruh baya ini
mengusap-usap lengan istrinya dan mencium punggung tangan wanita yang telah
memberikan dia dua anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Bu Ratmi tetap
diam, terpejam matanya. Pak Setiawan melangkah berpamitan pada Pak Udin, dan
ketika hendak membuka pintu kamar, tiba-tiba Bu Ratmi menjerit sekuatnya.
“Beraninya,
jangan kroyokan, sini hadapin saya langsung!” Dia langsung duduk, meski
terhuyung. Sontak, mereka berempat dibuat kaget dan serentak menatap Bu Ratmi.
Lia, yang berada lebih dekat, langsung merangkul bahu mamanya. Namun, meski
tidak bertenaga, Bu Ratmi menepis tangan Lia bahkan mendorong tubuh Lia.
“Ma,
ini Lia,” ucap Lia patah, menatap Bu Ratmi.
“Siapa
kamu? Saya tidak kenal,” bentak Bu Ratmi, suaranya yang lirih tidak menutupi
amarahnya yang seakan ingin menelan Lia.
“Ini
Lia, Ma, anak Mama,” Lia mencoba menjelaskan, sementara Pak Setiawan sudah
berada di sisi kanan Bu Ratmi bersama Pak Udin. Pak Setiawan mencoba
menenangkan istrinya. Lagi-lagi Bu Ratmi menepis dan mendorong Pak Setiawan
sama seperti tadi dia mendorong Lia.
“Jangan
dekati,” kata Pak Udin, menatap tegas ke Bu Ratmi. “Kamu siapa?” tanya Pak
Udin.
“Enggak
perlu tahu siapa saya,” jawab Bu Ratmi, yang kini sudah dirasuki raga yang
lain.
“Apa
yang kamu inginkan?” Pak Udin kembali bertanya. Bude Lilis merangkul Lia yang
sudah mulai terisak.
“Istighfar,
Lia,” bisik Bude Lilis, sambil menepuk bahu Lia.
“Saya
mau singgasana pelaminan semuanya untuk saya,” Bu Ratmi berseru dalam suaranya
yang lirih, sebab kondisi fisiknya memang lemah.
“Siapa
yang menyuruh kamu?” kembali Pak Udin menginterogasi sosok di balik raga Bu
Ratmi.
“Tidak
perlu kamu tahu. Yang penting serahkan semua pelaminan pengantin itu untuk
saya,” Bu Ratmi melotot, mengarahkan tatapannya pada Pak Setiawan. “Dia manusia
bejad biadab yang hanya mau memanfaatkan orang saja,” seru Bu Ratmi, dengan
mengarahkan jari telunjuknya ke arah muka Pak Setiawan. Pak Setiawan geram, dia
membalas dengan senyum getir.
Pak
Udin menaikkan kalung manik-manik yang sejak tadi sudah digenggamnya. Dia
memutar-mutar butiran yang berjumlah 33 tepat di depan mukanya, sambil
berkomat-kamit. Gerakan ini membuat Bu Ratmi tertawa geli sampai meneteskan air
mata.
“Lihat
ada orang gila,” ucapnya, sambil bertepuk tangan. Meski gerakan Bu Ratmi tidak
bertenaga, namun jelas bukan dirinya sendiri yang ada di dalam tubuhnya.
Lia,
yang sejak tadi hanya bisa terisak, kini dia berlari ke kamar mandi untuk
berwudhu. Lantas, seperti biasa, gadis ini meminta pertolongan lewat sholat.
Dia mengerjakan dua raka’at, lantas mengadahkan tangan memanjatkan permohonan
pada Ilahi Robbi. Berlinang air mata Lia terus panjatkan do’a hingga setelahnya
dia mendekati Bu Ratmi, memercikkan air yang sengaja telah dia siapkan sebelum
sholat. Dengan bantuan Pak Setiawan, Bude Lilis, dan Pak Udin, akhirnya tubuh
Bu Ratmi jatuh lunglai di atas kasur. Dia pingsan.