Si Bandar Uang Palsu

Daftar Isi

Suasana di halte bus itu sepi. Hanya ada seorang wanita berambut lurus sepunggung yang dibiarkannya tergerai. Bola mata hitamnya menyapu jalan raya yang juga tampak lengang. Lalu lintas kendaraan nyaris bisa dihitung jari, padahal ini tengah hari bolong. Mentari bersinar terik, terasa menyengat kulit. Semilir angin pun seakan malu-malu menampakkan diri, hanya debu jalanan yang menari-nari dihembus asap knalpot kendaraan yang melintas.

Gadis berhidung mancung itu duduk gelisah, seperti sedang menanti seseorang. Sesekali, ia melirik ke ponselnya.

"Kemana, sih, dia?" tanyanya pada diri sendiri. Matanya terus berkeliling mencari sosok yang ditunggunya. Nihil. Tempat itu tetap sepi, hanya ada tiga orang yang melangkah berbeda arah melewati halte. Karena orang yang ditunggu belum juga muncul, gadis berkemeja putih gading itu mengarahkan jemarinya mencari sebuah nama. Begitu menemukan nama itu, ia segera menekan tombol hijau, menelepon orang tersebut. Nada sambung berdering, tapi hanya dua kali. Setelahnya, suara mesin menjawab bahwa nomor yang dituju sedang berada di luar jangkauan. "Ih, kemana, sih? Nggak jelas banget, nih, orang," omelnya, lalu kembali menaruh ponsel di pangkuannya.

Ia mendesah, mengubah posisi duduknya, kembali menikmati pemandangan jalan raya di hadapannya.

Saat tengah asyik memperhatikan jalan yang sedikit lebih ramai, tiba-tiba, dari arah kanan, ia melihat seorang pria tuna netra melangkah mendekati halte. Tangan pria berkaos bola itu dengan tangkas memainkan tongkatnya, mengarah ke halte.

Dian, nama gadis berkulit bersih itu, memperhatikan pria itu dengan penuh ketakjuban. Bahkan, Dian sampai berdiri berniat membantu pria itu. Tetapi, melihat gerak-gerik pria itu seolah telah mengenali lingkungan sekitarnya, Dian hanya diam memperhatikan hingga pria itu tinggal dua langkah mendekat.

"Mau kemana, Mas?" tegur Dian sopan. Pria itu dengan santai mengarahkan wajahnya ke Dian, tersenyum.

"Mau naik angkot, Mbak," jawabnya santai, lalu membalikkan badan menghadap ke jalan raya.

"Mau naik angkot apa, Mas? Eh, maaf, maksud saya, biar saya bantu menyetopnya," Dian membenarkan ucapannya. Pria itu menoleh, tersenyum.

"Terima kasih, Mbak. Saya mau naik angkot 06," jawabnya.

"Oh, mau ke PGC?" timpal Dian.

"Enggak, saya mau ke Rumah Sakit Polri, Mbak." Dian tertegun mendengarnya. Seakan mengerti arti diamnya Dian, pria itu tersenyum.

"Rumah saya di belakang Rumah Sakit Polri, Mbak," sambungnya, membuat Dian tersenyum. Tak lama kemudian, Dian melihat angkot 06, lalu melambaikan tangan.

"Tuh, angkotnya udah saya setop, Mas. Yuk, saya bantu." Dian meraih lengan pria itu. Sang pria menoleh, tersenyum, mengangguk, membiarkan Dian memegang lengannya dan melangkah ke angkot.

"Makasih ya, Mbak. Nama saya Gifari," pria itu memperkenalkan dirinya.

"Saya Dian," tak mau kalah, Dian juga menyebutkan namanya. Ketika angkot berhenti, Dian mempersilakan Gifari naik.

Selepas angkot itu berjalan kembali, Dian melangkah duduk di bangku halte. Ia mengambil ponsel dan menelepon seseorang yang ditunggunya.

"Kemana, sih, Nafa?" gerutunya karena lagi-lagi hanya mesin yang memberi jawaban bahwa nomor yang dituju sedang berada di luar jangkauan. Dian menggeleng kesal, memasukkan kembali ponselnya.

"Ah, bodo amat, ah. Aku balik aja mending," Dian beranjak dan melangkah ke tepi halte, menunggu angkutan.

Belum sempat ia menyetop angkot yang ditujunya, tiba-tiba sebuah suara menegurnya.

"Dian, tunggu!" panggil wanita berambut panjang dengan setelan pink yang menambah kecantikan wanita itu. Dian menoleh, menatap sosok yang memanggilnya.

"Siapa dia?" tanyanya pada diri sendiri.

"Kamu Dian Sulastri, kan?" tanya wanita itu setelah berada di samping kiri Dian. Dian mengangguk.

"Saya Andini, calon istrinya Wendi." Wanita itu mengulurkan tangan mengajak Dian bersalaman. Wanita itu terus menatap Dian yang belum menyambut uluran tangannya.

"Saya menemui kamu sengaja mau memperjelas hubungan kamu yang telah selesai sama Wendi," lanjutnya, membuat darah Dian semakin mendidih seolah ia ingin mengatakan tidak pada wanita di sampingnya.

"Ini undangan pernikahan kami." Karena Dian tak bersalaman, wanita itu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop pink. Amplop itu adalah undangan pernikahan.

"Baca ini." Andini mengulurkan undangan itu. Dian melirik ke tangan Andini yang terulur memegang amplop pink.

"Ambil, Dian, dan bacalah supaya kamu benar-benar yakin dengan apa yang ku katakan, dan undangan itu untuk kamu." Andini memaksa meraih tangan Dian dan menaruh amplop itu. Debaran jantung Dian makin tak terkendali. Terpatah, ia menerima amplop itu, membaca sekilas tulisan di sampul amplop, dan menatap Andini penuh amarah.

"Terima kasih kabarnya." Dian menyerahkan kembali amplop itu, tapi Andini menepisnya.

"Itu untuk kamu." Dian menggeleng dan menjatuhkan amplop itu, lalu beranjak pergi meninggalkan Andini dengan senyum kemenangan.

Langkah besar Dian ayunkan, seakan ia ingin melangkah jauh meninggalkan kenyataan pahit ini. Bagaimana tidak, Wendi, pria yang telah dikenalnya selama 4 tahun dan telah berucap ingin menikahinya, justru memberikan panah beracun yang telak menghancurkan perasaannya.

"Dasar pria hidung belang!" maki Dian sambil mengusap air matanya. Dian melangkah tak terarah dengan suasana hati yang masih membara. Tak sengaja, ia menabrak seorang pria yang sedang duduk. Sontak, Dian memelotot, ingin melampiaskan kemarahannya. Tapi, ia sadar bahwa posisinya adalah yang salah. Secepatnya, Dian memasang senyum kecil sambil meminta maaf.

"Maaf, Mas." Pria itu balik tersenyum.

"Kalau lagi emosi, mending duduk aja, Mbak, daripada celaka." Pria itu berdiri, menatap Dian sejenak, lalu mengarahkan matanya pada sebuah kedai kopi.

"Kita duduk di sana dulu, Mbak, tenangkan hati Mbak," ajak pria itu. Entah mengapa, Dian mengikuti langkah pria berkaus hitam itu.

Dian terlihat sedikit tenang setelah meminum teh hangat. Pria yang duduk di sampingnya itu tersenyum memperhatikan raut muka Dian yang semakin tenang.

"Alhamdulillah, senang ngelihat Mbak sudah lebih tenang," ucapnya membuat Dian menoleh, tersenyum.

"Saya Dafa, siapa nama Mbak?" tanya Dafa sebelum Dian sempat menjawab.

"Dian," singkat Dian menjawab.

"Mbak mau kemana?" tanya Dafa kembali. Dian mendesah, menggeleng. Dafa mengernyitkan dahi, mencoba memahami.

"Saya mau pulang aja deh." Tersadar, akhirnya Dian memutuskan untuk pulang.

"Ke arah mana, Mbak?" tanya Dafa.

"Lebak Bulus, Mas." Dafa mengangguk.

"Tapi jangan panggil Mas, ah, panggil Dafa aja." Dian menangguk.

"Terima kasih ya, Dafa, udah nolongin saya." Dian bersikap ramah, tersenyum sebagai tanda santunnya pada Dafa yang setidaknya telah memberikan ketenangan setelah mengajaknya minum teh hangat.

"Santai, Dian. Eh, iya, kamu kerja di mana?" tanya Dafa menatap Dian.

"Di Optik Melawai," jawabnya. Belum sempat Dafa menjawab, ponselnya berdering. Dafa segera mengambil gawai itu dari dalam tas ranselnya.

"Tito," ucapnya sambil menekan tombol hijau.

Terdengar percakapan singkat keduanya. Dian hanya sedikit menyimak karena ia tak ingin ikut campur urusan orang yang baru saja dikenalnya.

"Maaf, Dian, sepertinya saya duluan ya," ucap Dafa setelah mematikan ponselnya, lalu dia memanggil pelayan kedai meminta tagihannya.

"Ada urusan urgent nih." Dafa mengambil ponselnya dan jemarinya bermain di layar sentuh itu. Mata Dian terbelalak ketika dia melihat foto Wendi.

"Maaf, Fa, sepertinya saya mengenal deh orang itu." Mata Dian mengarah ke foto yang masih terpampang di layar monitor. Refleks, Dafa menoleh menatap Dian penuh tanya.

"Boleh lihat, buat meyakinkan?" pinta Dian mengulurkan tangan. Dafa memberikan ponselnya. Dian mengamati foto itu dan benar, itu Wendi, ada tahi lalat kecil di ujung alis kirinya.

"Ini Wendi." Sedikit ragu, Dian menyebutkan nama itu. Sekali lagi, Dafa terkejut, refleks menatap Dian dengan membulatkan matanya.

"Kamu kenal dia?" tanya Dafa. Dian mengangguk.

"Dia itu bajingan yang membohongin saya." Dian mulai menceritakan semuanya hingga dia bertemu Dafa. Ta'zim Dafa mendengarkan curhatan Dian.

"Wah, sakitnya tuh di sini ya," canda Dafa memegang dadanya sambil tertawa kecil.

"Bercanda, Dian, tapi setidaknya Tuhan sedang memberikan petunjuknya sama kamu siapa Wendi itu." Dafa mengubah posisi duduknya, berkata serius dengan mengecilkan suara seakan tak ada yang boleh mendengar obrolan mereka.

"Saya tim kesatuan kepolisian yang sedang menangani kasus peredaran uang palsu dan indikasi bandarnya itu adalah Wendi," jelas Dafa membuat Dian tercengang.

"Wendi jadi bandar uang palsu?" ucapnya terkesima. Dafa mengangguk.

"Apa kamu bisa bantu kami?" pinta Dafa sambil menunjukkan kartu identitasnya serta surat tugasnya. Dian mengamatinya tak mengerti, dia menggeleng.

"Kamu tak perlu berbuat apapun, kamu hanya kasih tahu di mana tempat yang biasanya Wendi datangi," terang Dafa. Dian memejamkan mata. Terbayang sosok Andini yang tadi memberikan surat undangan tapi ditapisnya.

"Coba tadi aku ambil ya," sesal itu terdengar lirih.

"Apa maksudnya?" tanya Dafa.

"Coba tadi aku ambil undangan itu, pasti sangat membantu polisi karena ada alamat tempat diselenggarakan pernikahan itu," ucap Dian. Dafa menggaruk kepala yang tak gatal.

"Enggak usah nyesal gitu, Dian. Sekarang, selain rumahnya Wendi, di mana tempat lainnya yang kamu ketahui?" ucap Dafa. Dian mengigit bibir.

"Atau kamu ikut saya ke kantor aja biar kita leluasa ngobrolnya, tapi lebih dulu kabarin orang tua kamu," sambung Dafa. Dian menangguk, lalu mengambil ponselnya untuk menelepon mamanya.

Dian telah menceritakan semua tempat yang pernah ia datangi bersama Wendi serta cerita lainnya yang ia ketahui tentang Wendi, ketika dia sudah berada di kantor polisi. Dafa mendengarnya penuh perhatian, menyimak setiap perkataan Dian, bahkan dia meminta izin untuk merekam pembicaraan ini. Meski luka yang tadi hadir dari kedatangan Andini ditambah kenyataan baru bahwa Wendi adalah bandar pengedaran uang palsu, dalam hati Dian ia bersyukur atas semua yang terjadi. Tuhan menyelamatkan dirinya dari seseorang yang ternyata menjadi daftar nama pencarian polisi. Dian juga tak mengira bahwa Wendi yang dikenalnya sebagai sekuriti mal tempatnya bekerja adalah seorang bandar pengedar uang palsu. Kejanggalan memang sering Dian rasakan ketika Wendi selalu mengajaknya makan di restoran ternama serta Wendi juga suka membelikannya barang mewah termasuk ponsel yang sekarang dipakai Dian.

Penyelidikan kepolisian berhasil menemukan tempat penyelenggaraan pesta pernikahan Wendi dan Andini. Di hari bahagia pasangan mempelai ini, justru Wendi ditangkap dengan tuduhan sebagai bandar pengedar uang palsu. Pesta yang rencananya memberikan kebahagiaan itu justru hancur dengan penangkapan tanpa perlawanan itu. Kini Wendi telah mendekam di jeruji besi dan bersiap menjalani persidangan.

Dian yang mendapat kabar itu dari Dafa bernapas lega mendengarnya.

"Terima kasih ya Allah," ucap syukur Dian mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangannya setelah menutup telepon dari Dafa.

 

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

1 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Selasa, 22 April 2025 pukul 22.12.00 WIB Hapus
Enjoy bgt baca ceritanya, Bunda.