Suasana di halte bus itu sepi. Hanya ada seorang wanita
berambut lurus sepunggung yang dibiarkannya tergerai. Bola mata hitamnya
menyapu jalan raya yang juga tampak lengang. Lalu lintas kendaraan nyaris bisa
dihitung jari, padahal ini tengah hari bolong. Mentari bersinar terik, terasa
menyengat kulit. Semilir angin pun seakan malu-malu menampakkan diri, hanya
debu jalanan yang menari-nari dihembus asap knalpot kendaraan yang melintas.
Gadis berhidung
mancung itu duduk gelisah, seperti sedang menanti seseorang. Sesekali, ia
melirik ke ponselnya.
"Kemana, sih,
dia?" tanyanya pada diri sendiri. Matanya terus berkeliling mencari sosok
yang ditunggunya. Nihil. Tempat itu tetap sepi, hanya ada tiga orang yang
melangkah berbeda arah melewati halte. Karena orang yang ditunggu belum juga
muncul, gadis berkemeja putih gading itu mengarahkan jemarinya mencari sebuah
nama. Begitu menemukan nama itu, ia segera menekan tombol hijau, menelepon
orang tersebut. Nada sambung berdering, tapi hanya dua kali. Setelahnya, suara mesin
menjawab bahwa nomor yang dituju sedang berada di luar jangkauan. "Ih,
kemana, sih? Nggak jelas banget, nih, orang," omelnya, lalu kembali
menaruh ponsel di pangkuannya.
Ia mendesah,
mengubah posisi duduknya, kembali menikmati pemandangan jalan raya di
hadapannya.
Saat tengah asyik
memperhatikan jalan yang sedikit lebih ramai, tiba-tiba, dari arah kanan, ia
melihat seorang pria tuna netra melangkah mendekati halte. Tangan pria berkaos
bola itu dengan tangkas memainkan tongkatnya, mengarah ke halte.
Dian, nama gadis
berkulit bersih itu, memperhatikan pria itu dengan penuh ketakjuban. Bahkan,
Dian sampai berdiri berniat membantu pria itu. Tetapi, melihat gerak-gerik pria
itu seolah telah mengenali lingkungan sekitarnya, Dian hanya diam memperhatikan
hingga pria itu tinggal dua langkah mendekat.
"Mau kemana,
Mas?" tegur Dian sopan. Pria itu dengan santai mengarahkan wajahnya ke
Dian, tersenyum.
"Mau naik
angkot, Mbak," jawabnya santai, lalu membalikkan badan menghadap ke jalan
raya.
"Mau naik
angkot apa, Mas? Eh, maaf, maksud saya, biar saya bantu menyetopnya," Dian
membenarkan ucapannya. Pria itu menoleh, tersenyum.
"Terima kasih,
Mbak. Saya mau naik angkot 06," jawabnya.
"Oh, mau ke
PGC?" timpal Dian.
"Enggak, saya
mau ke Rumah Sakit Polri, Mbak." Dian tertegun mendengarnya. Seakan
mengerti arti diamnya Dian, pria itu tersenyum.
"Rumah saya di
belakang Rumah Sakit Polri, Mbak," sambungnya, membuat Dian tersenyum. Tak
lama kemudian, Dian melihat angkot 06, lalu melambaikan tangan.
"Tuh, angkotnya
udah saya setop, Mas. Yuk, saya bantu." Dian meraih lengan pria itu. Sang
pria menoleh, tersenyum, mengangguk, membiarkan Dian memegang lengannya dan
melangkah ke angkot.
"Makasih ya,
Mbak. Nama saya Gifari," pria itu memperkenalkan dirinya.
"Saya
Dian," tak mau kalah, Dian juga menyebutkan namanya. Ketika angkot
berhenti, Dian mempersilakan Gifari naik.
Selepas angkot itu
berjalan kembali, Dian melangkah duduk di bangku halte. Ia mengambil ponsel dan
menelepon seseorang yang ditunggunya.
"Kemana, sih,
Nafa?" gerutunya karena lagi-lagi hanya mesin yang memberi jawaban bahwa
nomor yang dituju sedang berada di luar jangkauan. Dian menggeleng kesal,
memasukkan kembali ponselnya.
"Ah, bodo amat,
ah. Aku balik aja mending," Dian beranjak dan melangkah ke tepi halte,
menunggu angkutan.
Belum sempat ia
menyetop angkot yang ditujunya, tiba-tiba sebuah suara menegurnya.
"Dian,
tunggu!" panggil wanita berambut panjang dengan setelan pink yang menambah
kecantikan wanita itu. Dian menoleh, menatap sosok yang memanggilnya.
"Siapa dia?"
tanyanya pada diri sendiri.
"Kamu Dian
Sulastri, kan?" tanya wanita itu setelah berada di samping kiri Dian. Dian
mengangguk.
"Saya Andini,
calon istrinya Wendi." Wanita itu mengulurkan tangan mengajak Dian
bersalaman. Wanita itu terus menatap Dian yang belum menyambut uluran tangannya.
"Saya menemui
kamu sengaja mau memperjelas hubungan kamu yang telah selesai sama Wendi,"
lanjutnya, membuat darah Dian semakin mendidih seolah ia ingin mengatakan tidak
pada wanita di sampingnya.
"Ini undangan
pernikahan kami." Karena Dian tak bersalaman, wanita itu membuka tasnya
dan mengeluarkan sebuah amplop pink. Amplop itu adalah undangan pernikahan.
"Baca
ini." Andini mengulurkan undangan itu. Dian melirik ke tangan Andini yang
terulur memegang amplop pink.
"Ambil, Dian,
dan bacalah supaya kamu benar-benar yakin dengan apa yang ku katakan, dan
undangan itu untuk kamu." Andini memaksa meraih tangan Dian dan menaruh
amplop itu. Debaran jantung Dian makin tak terkendali. Terpatah, ia menerima
amplop itu, membaca sekilas tulisan di sampul amplop, dan menatap Andini penuh
amarah.
"Terima kasih
kabarnya." Dian menyerahkan kembali amplop itu, tapi Andini menepisnya.
"Itu untuk
kamu." Dian menggeleng dan menjatuhkan amplop itu, lalu beranjak pergi
meninggalkan Andini dengan senyum kemenangan.
Langkah besar Dian
ayunkan, seakan ia ingin melangkah jauh meninggalkan kenyataan pahit ini.
Bagaimana tidak, Wendi, pria yang telah dikenalnya selama 4 tahun dan telah
berucap ingin menikahinya, justru memberikan panah beracun yang telak
menghancurkan perasaannya.
"Dasar pria
hidung belang!" maki Dian sambil mengusap air matanya. Dian melangkah tak
terarah dengan suasana hati yang masih membara. Tak sengaja, ia menabrak
seorang pria yang sedang duduk. Sontak, Dian memelotot, ingin melampiaskan
kemarahannya. Tapi, ia sadar bahwa posisinya adalah yang salah. Secepatnya,
Dian memasang senyum kecil sambil meminta maaf.
"Maaf,
Mas." Pria itu balik tersenyum.
"Kalau lagi
emosi, mending duduk aja, Mbak, daripada celaka." Pria itu berdiri,
menatap Dian sejenak, lalu mengarahkan matanya pada sebuah kedai kopi.
"Kita duduk di
sana dulu, Mbak, tenangkan hati Mbak," ajak pria itu. Entah mengapa, Dian
mengikuti langkah pria berkaus hitam itu.
Dian terlihat
sedikit tenang setelah meminum teh hangat. Pria yang duduk di sampingnya itu
tersenyum memperhatikan raut muka Dian yang semakin tenang.
"Alhamdulillah,
senang ngelihat Mbak sudah lebih tenang," ucapnya membuat Dian menoleh,
tersenyum.
"Saya Dafa,
siapa nama Mbak?" tanya Dafa sebelum Dian sempat menjawab.
"Dian,"
singkat Dian menjawab.
"Mbak mau
kemana?" tanya Dafa kembali. Dian mendesah, menggeleng. Dafa mengernyitkan
dahi, mencoba memahami.
"Saya mau
pulang aja deh." Tersadar, akhirnya Dian memutuskan untuk pulang.
"Ke arah mana,
Mbak?" tanya Dafa.
"Lebak Bulus,
Mas." Dafa mengangguk.
"Tapi jangan
panggil Mas, ah, panggil Dafa aja." Dian menangguk.
"Terima kasih
ya, Dafa, udah nolongin saya." Dian bersikap ramah, tersenyum sebagai
tanda santunnya pada Dafa yang setidaknya telah memberikan ketenangan setelah
mengajaknya minum teh hangat.
"Santai, Dian.
Eh, iya, kamu kerja di mana?" tanya Dafa menatap Dian.
"Di Optik
Melawai," jawabnya. Belum sempat Dafa menjawab, ponselnya berdering. Dafa
segera mengambil gawai itu dari dalam tas ranselnya.
"Tito,"
ucapnya sambil menekan tombol hijau.
Terdengar percakapan
singkat keduanya. Dian hanya sedikit menyimak karena ia tak ingin ikut campur
urusan orang yang baru saja dikenalnya.
"Maaf, Dian,
sepertinya saya duluan ya," ucap Dafa setelah mematikan ponselnya, lalu
dia memanggil pelayan kedai meminta tagihannya.
"Ada urusan
urgent nih." Dafa mengambil ponselnya dan jemarinya bermain di layar
sentuh itu. Mata Dian terbelalak ketika dia melihat foto Wendi.
"Maaf, Fa,
sepertinya saya mengenal deh orang itu." Mata Dian mengarah ke foto yang
masih terpampang di layar monitor. Refleks, Dafa menoleh menatap Dian penuh
tanya.
"Boleh lihat,
buat meyakinkan?" pinta Dian mengulurkan tangan. Dafa memberikan
ponselnya. Dian mengamati foto itu dan benar, itu Wendi, ada tahi lalat kecil
di ujung alis kirinya.
"Ini
Wendi." Sedikit ragu, Dian menyebutkan nama itu. Sekali lagi, Dafa
terkejut, refleks menatap Dian dengan membulatkan matanya.
"Kamu kenal
dia?" tanya Dafa. Dian mengangguk.
"Dia itu
bajingan yang membohongin saya." Dian mulai menceritakan semuanya hingga
dia bertemu Dafa. Ta'zim Dafa mendengarkan curhatan Dian.
"Wah, sakitnya
tuh di sini ya," canda Dafa memegang dadanya sambil tertawa kecil.
"Bercanda,
Dian, tapi setidaknya Tuhan sedang memberikan petunjuknya sama kamu siapa Wendi
itu." Dafa mengubah posisi duduknya, berkata serius dengan mengecilkan
suara seakan tak ada yang boleh mendengar obrolan mereka.
"Saya tim
kesatuan kepolisian yang sedang menangani kasus peredaran uang palsu dan
indikasi bandarnya itu adalah Wendi," jelas Dafa membuat Dian tercengang.
"Wendi jadi
bandar uang palsu?" ucapnya terkesima. Dafa mengangguk.
"Apa kamu bisa
bantu kami?" pinta Dafa sambil menunjukkan kartu identitasnya serta surat
tugasnya. Dian mengamatinya tak mengerti, dia menggeleng.
"Kamu tak perlu
berbuat apapun, kamu hanya kasih tahu di mana tempat yang biasanya Wendi
datangi," terang Dafa. Dian memejamkan mata. Terbayang sosok Andini yang
tadi memberikan surat undangan tapi ditapisnya.
"Coba tadi aku
ambil ya," sesal itu terdengar lirih.
"Apa
maksudnya?" tanya Dafa.
"Coba tadi aku
ambil undangan itu, pasti sangat membantu polisi karena ada alamat tempat
diselenggarakan pernikahan itu," ucap Dian. Dafa menggaruk kepala yang tak
gatal.
"Enggak usah
nyesal gitu, Dian. Sekarang, selain rumahnya Wendi, di mana tempat lainnya yang
kamu ketahui?" ucap Dafa. Dian mengigit bibir.
"Atau kamu ikut
saya ke kantor aja biar kita leluasa ngobrolnya, tapi lebih dulu kabarin orang
tua kamu," sambung Dafa. Dian menangguk, lalu mengambil ponselnya untuk
menelepon mamanya.
Dian telah
menceritakan semua tempat yang pernah ia datangi bersama Wendi serta cerita
lainnya yang ia ketahui tentang Wendi, ketika dia sudah berada di kantor
polisi. Dafa mendengarnya penuh perhatian, menyimak setiap perkataan Dian,
bahkan dia meminta izin untuk merekam pembicaraan ini. Meski luka yang tadi
hadir dari kedatangan Andini ditambah kenyataan baru bahwa Wendi adalah bandar
pengedaran uang palsu, dalam hati Dian ia bersyukur atas semua yang terjadi.
Tuhan menyelamatkan dirinya dari seseorang yang ternyata menjadi daftar nama
pencarian polisi. Dian juga tak mengira bahwa Wendi yang dikenalnya sebagai
sekuriti mal tempatnya bekerja adalah seorang bandar pengedar uang palsu.
Kejanggalan memang sering Dian rasakan ketika Wendi selalu mengajaknya makan di
restoran ternama serta Wendi juga suka membelikannya barang mewah termasuk
ponsel yang sekarang dipakai Dian.
Penyelidikan
kepolisian berhasil menemukan tempat penyelenggaraan pesta pernikahan Wendi dan
Andini. Di hari bahagia pasangan mempelai ini, justru Wendi ditangkap dengan
tuduhan sebagai bandar pengedar uang palsu. Pesta yang rencananya memberikan
kebahagiaan itu justru hancur dengan penangkapan tanpa perlawanan itu. Kini
Wendi telah mendekam di jeruji besi dan bersiap menjalani persidangan.
Dian yang mendapat
kabar itu dari Dafa bernapas lega mendengarnya.
"Terima kasih
ya Allah," ucap syukur Dian mengusap wajah dengan kedua belah telapak
tangannya setelah menutup telepon dari Dafa.