Putuskan sekarang juga!
Suasana kantin sekolah masih sepi, bahkan nyaris tak ada
aktivitas. Hanya satu kedai yang buka, karena hari ini sekolah libur. Kantin
yang buka adalah kedainya Bu Tardi, yang hanya menjual minuman ringan dan
jajanan kecil. Beberapa kursi tergeletak di atas meja dalam posisi terbalik,
hanya dua kursi panjang yang masih setia berdampingan dengan meja. Dari
kejauhan, seorang pemuda melangkah menuju kantin, langkahnya lebar-lebar seakan
dia sedang memburu sesuatu.
"Ah, sepi. Berarti Qintan belum datang," gumamnya
sendiri. Dia terus melangkah dan langsung duduk. Matanya menyapu sekeliling
mencari sesuatu, namun tidak menemukan apa-apa. Pemuda ini mengambil ponselnya
dari dalam tas yang telah dia pangku. Selagi asyik dengan gawainya, tiba-tiba
sebuah suara mengejutkannya.
"Eh, Mas Zein, ngapain pagi-pagi gini kemari?"
Suara itu adalah suara Mang Diding, suaminya Bu Tardi. Pemuda yang bernama Zein
itu menoleh dengan raut tak suka karena kaget.
"Eh, Mang Diding, bikin kaget aja," ucap Zein
mengubah posisi duduknya.
"Hehehehhe, maaf Mas," Mang Diding sudah berada di
dekat Zein.
"Ada acara ya, pagi-pagi gini udah nyampe di sini
padahal kan hari libur," lanjutnya yang duduk di hadapan Zein.
"Tidak, Mang. Saya janjian sama Qintan," jawab Zein
yang sedang mengirim pesan pada Qintan.
"Oh, Neng Qintan yang anaknya Pak Basuki ya?" tanya
Mang Diding ingin tahu. Zein mengangguk, notifikasi pesan berbunyi, Zein segera
membacanya.
"Aahh," desahnya kecewa, meletakkan ponselnya ke
atas meja. Mang Diding heran menatap Zein penuh tanda tanya.
"Kenapa, Mas?" tanyanya.
"Qintan enggak jadi datang," ucap Zein lesu.
"Mang, mau milo hangat deh," lanjut Zein memesan
minuman. Mang Diding berdiri bersiap melangkah.
"Siap, segera dibuatkan," dia bersikap seperti
tentara yang memberi penghormatan pada atasannya. Meski kesal, namun Zein
tertawa.
"Jadi Qintan enggak datang, Zein?" tanya Obi ketika
Zein telah berada di rumahnya. Zein mengangguk, dia menyandarkan punggungnya di
sandaran kursi, matanya menatap lurus ke depan. Karena Qintan mengatakan lewat
pesan dia tak jadi datang, akhirnya Zein memutuskan pergi ke rumah Obi, teman
sebangkunya sekaligus sahabat sejak mereka masih sekolah dasar.
"Hahahahahha," Obi tertawa, Zein melirik tak suka.
"Ngapa loe ketawa, emang ada yang lucu apa?" sewet
Zein menimpali, yang justru membuat Obi semakin terbahak.
"Zein, Zein, Zein," dia menepuk paha temannya yang
masih beraut kesal.
"Lagi loe aja yang aneh, liburan gini loe ajak do'i ke
sekolah," lanjut Obi mengganti posisi duduknya.
"Lah, dia sendiri yang minta ketemu di sekolah, katanya
dia minta anterin ke pameran buku di Senayan," jawab Zein sambil
menegakkan tubuhnya.
"Tapi ngapa enggak langsung aja doi loe jemput ke
rumahnya?" tanya Obi menatap Zein. Zein menggeleng, dia meraih gelas di
atas meja.
"Dah, minum dulu biar otak loe dingin, jangan sewet
gitu," ucap Obi yang ikut meminum es sirup bagianya.
"Dah gimana kalau kita berdua ke pameran buku itu, kan
itung-itung refreshing?" Obi mengajukan ide, Zein melirik dengan menenggak
minumannya.
"Boleh juga ide loe," jawab Zein tersenyum.
"Obi gitu loh," Obi menepuk dadanya, Zein mencibir.
"Tumben tapinya," canda Zein yang membuat keduanya
tertawa.
"Enggak salah gue capek-capek kesini dari sekolah, eh
ada gunanya juga ya loe," Zein berdiri menjitak kepala Obi, Obi tersentak.
"Semprul loe," sentak Obi yang ikut berdiri dan
melangkah ke motor Zein.
Motor Zein berbelok ke SPBU.
"Yaah, ini motor pake haus lagi," ucap Obi yang
duduk di belakang.
"Lah, emang manusia aja yang haus. Ntar kalau nih motor
kaga kita isi bensin bisa-bisa loe gue suruh dorong mau," timpal Zein yang
membuat Obi tertawa.
"Eh eh Zein, lihat tuh mobil yang di depan," Obi
menunjuk sebuah Honda Jazz berwarna putih yang sedang diisi bensin.
"Itukan Reza," lanjut Obi.
"Minggir Zein, loe jangan ngantri dulu, kita mata-matain
tuh mobil," perintah Obi yang memaksa Zein membelokan arah motornya.
"Emangnya kenapa sih Bi?" tanya Zein yang belum
mengerti.
"Dah, buruan kita ngepi dulu ngamatin siapa yang ada di
dalam mobil itu," Obi mendesak Zein agar mencari tempat aman untuk
mengintai mobil yang dia kenali. Meski merasa aneh, tapi Zein menuruti perintah
sahabatnya. Dia memarkirkan motor di bawah pohon yang letaknya masih di dalam
area SPBU. Mata Obi terfokus ke arah mobil berplat nomor B 1909 RCw itu.
"Kan lo tahu si Reza naksir doi loe, gue punya firasat
jelek nih," ucap Obi yang tak mau memalingkan tatapannya. Mendengar
perkataan Obi, Zein baru mengerti.
"Oh iya loe pinter juga Bi," ucap Zein menepuk bahu
temannya.
"Tuh kan bener, mobil itu punya Reza. Lihat, dia kan
yang keluar dari pintu supir," Obi menunjuk ke arah seorang pemuda berkaos
biru turun dari mobil.
"Ngapain dia turun ya, bukannya tengki bensin itu bisa
dibuka otomatis?" ucap Zein.
"Tombolnya rusak kali," jawab Obi sekenanya.
"Gue curiga jangan-jangan Qintan ada sama dia,"
lanjut Obi yang membuka helmnya lantas melangkah.
"Bi, loe mau kemana?" seru Zein.
"Loe diem aja di situ sampai gue datang," Obi
membalikan tubuhnya, menyuruh Zein tetap diam di tempat.
Sekitar lima menit Zein berdiri menunggu Obi yang melangkah
mendekati mobil Reza.
"Benerkan dugaan gue, Qintan lagi sama dia," Obi
datang sambil memberitahu informasi yang dia dapatkan.
"Dah loe mesti putusin Qintan, jangan mau
diduakan," Obi menepuk bahu Zein yang masih menatapnya.
"Emang cewe cuma dia aja, dunia ini luas, men. Jadi loe
kudu putusin Qintan secepatnya," lanjut Obi.
"Dah sini gue yang bawa motornya, kita susul mereka, dan
loe mesti ambil sikap," Obi mengambil anak kunci dari tangan Zein dan
memasangkannya di induk kunci.
"Dah naik, jangan bengong, kaya ayam tetelo gitu,"
Obi menstater motor, bukannya naik, Zein malah mengambil ponselnya.
"Eh, ngapain loe malah ngambil HP?" Obi
memelototinya.
"Gue mau nelpon Qintan," jawab Zein yang memainkan
jemarinya di atas layar sentuh.
"Iiihh, jangan, bego amat sih loe, kita kejar aja mereka
trus loe selesaikan langsung," sentak Obi yang membuat Zein terperangah,
lantas memasukkan kembali gawainya.
"Dah naik, keburu mereka jauh," Obi menyuruh Zein
naik ke boncengan belakang.
Di jalan, Obi memacu motornya, dia laksana detektif yang
sedang mengintai buruan.
"Nah, itu dia mobilnya," seru Obi menunjuk mobil
yang mereka cari. Lantas, dia menambah kecepatan motornya, berusaha menjajari
dengan mobil yang jaraknya sudah dua puluh meter di depan mereka. Zein yang
belum bisa menerima kenyataan penghianatan ini hanya diam. Pikirannya
menerawang ke Qintan. Dalam hati, dia masih meragukan kalau Qintan
mengkhianatinya, padahal mereka telah menjalin hubungan ini sejak kelas satu,
yang berarti sudah hampir tiga tahun mereka bersama.
*Tin, tin, tin*. Obi menekan klakson, meminta agar mobil yang
ada di sampingnya menepi. Sang supir menurunkan kaca jendela, Qintan menoleh ke
arah luar dimana Obi dan Zein ada di atas motor.
"Nepi sebentar, Za," seru Obi, dan Reza pun
menurutinya.
"Tenang, Za, biarkan Zein dan Qintan selesaikan masalah
mereka. Kalau emang Qintan lebih memilih loe, ya itu berarti rejeki loe,"
Obi menahan lengan Reza yang ingin mendekati Qintan yang telah berdiri
berhadapan dengan Zein.
Keduanya bertatapan tanpa suara, hanya tatapan saling mengadu
kekuatan hati masing-masing.
"Kenapa kamu lakuin ini, Tan?" tanya Zein yang
masih menatap gadis yang menggerai rambut lurus sepunggungnya. Qintan diam, dia
melawan tatapan Zein dengan balik menatap juga, sinis, Qintan tersenyum.
"Yaahh, bolehkan kalau aku ganti suasana, kan bosan naik
motor terus," Qintan menurunkan bola matanya sambil menggeleng.
"Lagian kamu juga belum mapan, enggak kaya Reza yang
akan mewarisi kekayaan bapaknya," lanjut Qintan santai.
"Astagaa," Zein terkejut mendengar ucapan Qintan.
"Aku enggak nyangka kamu punya pikiran sepicik itu,
Tan," ucap Zein. Qintan tersenyum.
"Ya iya lah, realita gitu, siapa sih yang enggak mau
hidup enak," sahut Qintan.
"Ya sudahlah, Tan, kita akhiri aja hubungan kita dan
enggak usah debat lagi," Zein bersiap melangkah meninggalkan Qintan.
"Ya udah, lagian siapa yang mau sama loe lagi,"
gerutu Qintan yang juga membalikan tubuhnya berjalan menuju mobil Reza.
Obi menepuk bahu Zein lantas merangkulnya.
"Santai, bro, dunia itu luas dan kesempatan masih
lebar," ucapnya memberi semangat untuk Zein.
"Kita fokuskan aja pikiran kita untuk ujian akhir, trus
siap-siap jadi mahasiswa, siapa tahu cewe di kampus itu jauh lebih keren
daripada si Qintan," lanjut Obi. Zein diam, hatinya masih belum terima
atas penghianatan Qintan, namun akal sehatnya membenarkan perkataan Obi. Zein
tersenyum, menatap Obi.
"Thanks ya,
Bi, dah yuk kita jalan aja," Zein mengambil helm dan memakainya. Obi
tersenyum, dan dia pun segera naik ke atas motor, membawa Zein berkeliling
kota.