Mesti kecil tapi bahagia

Table of Contents

Libur sekolah pekan ini, aku, suami, serta putri tunggal kami berencana mengisi dengan pergi ke taman kota. Kami awali kegiatan hari ini dengan mengerjakan sholat subuh berjamaah di masjid yang letaknya tak jauh dari rumah kami. Selesai berjamaah sholat subuh, acara dilanjutkan dengan kuliah subuh dan kemudian jamaah dipersilakan menikmati hidangan sederhana dari pengurus masjid.

 

Rangkaian kegiatan subuh telah kami lalui, berharap sebaris doa pada Yang Kuasa. Dengan mengendarai sepeda motor, kami melanjutkan perjalanan menuju ke taman kota. "Tak sabar untuk bermain di sana," kata itu terucap dari buah hati kami. Kurang dari 30 menit perjalanan ditempuh, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Parkiran motor sedikit penuh, untuk itu aku dan Chelsea, nama bidadariku, diturunkan suamiku di pintu masuk karena dia mau mencari tempat untuk memarkirkan motornya terlebih dulu.

 

Tongkatku pasang sebagai alat bantu serta identitas diriku. Kami pun menelusuri taman sambil menikmati udara pagi. Kesejukan dirasa dari pepohonan yang tertanam berjajar rapi mengelilingi taman ini. Sinar mentari menambah kehangatan udara dan kicauan burung memperlengkap suasana pagi di taman kota. Chelsea sudah terbiasa membimbingku berjalan, dia sangat paham saat berdua denganku di tempat publik. Di sisi taman, aku duduk menunggu suami. Tak lama kemudian, dia datang. Kami mulai melakukan aktivitas dengan berolahraga ringan, yaitu senam pagi. Chelsea mengajak ayahnya lari mengelilingi putaran kecil di taman itu. Menunggu mereka, aku duduk di tepian taman sambil mendengarkan buku elektronik yang kupinjam dari perpustakaan tuna netra. Lama aku menanti keduanya, namun aku tak merasa bosan sebab ku rasakan keramaian di sekelilingku dan teman buku elektronik membuang kejenuhanku.

 

Mereka datang sambil membawa minuman ringan serta makanan camilan. Kami menikmati kebersamaan di taman kota.

 

Tak jauh dari tempat duduk keluargaku, ada seorang wanita dan anaknya. Wanita itu berkata pada anak perempuan yang usianya sekitar 9 tahun, “Ibu mau ke toilet nih Kak, tapi dimana ya?” Sang ibu berdiri, memasang tongkat dan meraih lengan anaknya. Pandangan anak itu menyapu sekeliling taman mencari keberadaan toilet. Chelsea yang mendengar dan melihat kejadian itu segera meminta izin padaku.

 

“Bun, Echi mau nolongin ibu itu boleh?” ucapnya penuh semangat. Lantas dia segera berdiri menunggu jawaban dari aku dan suami. Kebetulan Chelsea baru saja kembali dari toilet. Aku dan suami memberikan izin asalkan dia bisa berhati-hati.

 

“Boleh saja asal Kakak bisa berhati-hati,” kataku memberi persetujuan. Tanpa menunggu lama, dengan wajah riang Chelsea segera mendekati ibu tersebut sambil berkata, “Bu, boleh saya bantu menunjukan dimana toiletnya?” Kemudian ibu menjawab, “Emang kamu tahu dimana toiletnya dan apakah orang tua kamu sudah kasih izin?” kata ibu yang tengah bersiap berjalan. “Tenang aja Bu, ayah bunda aku ada di samping ibu dan sudah kasih izin ke aku. Dan aku tahu toiletnya karena aku tadi sudah dari sana,” Chelsea memberikan penjelasan sambil mendekati sang ibu yang telah dituntun oleh anaknya yang tersenyum pada Chelsea. Ibu tersenyum sambil mengatakan terimakasih dan mereka berjalan bertiga menuju ke toilet.

 

Sampai di depan ruang toilet, Chelsea berkata, “Dik, ini toiletnya. Kamu bisa kan bantu ibumu di dalam toiletnya?” “Iya Kak,” jawab anak itu sambil membimbing ibu masuk ke dalam toilet. Tak lama mereka keluar dan ibu berkata, “Terima kasih ya Nak, kamu dah bantu ibu ke toilet.” “Iya Bu, sama-sama,” Chelsea menjawab sambil membimbing ibu berjalan kembali ke tempat dimana ayah bunda duduk. “Nah Bu, kita dah sampai di tempat semula. Ini ada ayah bunda aku,” kata Chelsea sambil kembali mendekati orang tuanya. Setelah mengucapkan terimakasih serta ngobrol sejenak, ibu dan anaknya berpamitan.

 

Sepeninggalan ibu anak tadi, Chelsea duduk di pangkuan ayah sambil memeluknya. Dia berkata, “Echi seneng deh Yah, dah bisa bantu ibu itu.” Suamiku mencium putrinya penuh cinta. Tak terasa, menetes air mata bahagia dari mata suamiku dan dia berkata, “Alhamdulillah, terimakasih ya Allah... ayah bangga punya putri cantik ini.” Aku tak ingin melewati kebersamaan ini, segera aku mendekati keduanya, terlarut bahagia dan mencium anakku penuh rasa syukur. Sederhana sekali, hanya membantu seorang ibu tuna netra, namun kebahagiaan tak terukir kami rasa di pagi yang penuh keberkahan ini. Syukurku diberi putri yang mengerti dan peduli pada kaum difabel serta rasa kemanusiaannya. Harapan do’aku, putri kesayangan kami mempunyai cantik hati hingga kecantikan wajah akan terpancar dari raut muka yang tak pernah aku bisa nikmati sejak aku melahirkannya.

 

Kebahagiaan hari ini telah menjadi cerita tak terlupa telah kami jalani. Banyak pembelajaran aku dapati dari kisah bersama keluargaku di hari ini. Untuk melakukan kebaikan tak perlu menunggu hal besar, terlebih lagi menolong sesama dari yang kecil. Asalkan dilakukan penuh ikhlas, pastilah kebahagiaan akan dirasa.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

2 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Anonim
Sabtu, 07 September 2024 pukul 12.43.00 WIB Delete
Masya Allah
Comment Author Avatar
Rina Indrawati
Sabtu, 07 September 2024 pukul 13.59.00 WIB Delete
Terima kasih